By: Utari H
Perempuan berwajah oriental itu membuka pintu dengan perlahan kemudian
menyembulkan kepalanya dari balik pintu. Berniat memeriksa putri
tunggalnya apakah sudah tidur atau belum mengingat ini sudah lewat
dari jam tidur. Keningnya mengkerut, memandang heran pada perempuan
berumur 9 tahun yang bergelung resah di balik selimut bergambar Hello
Kitty, namun matanya belum terpejam sama sekali.
Dengan langkah perlahan ia memasuki kamar putrinya. Membuat sang
pemilik kamar terkejut melihat kedatangan Ibunya yang tiba-tba.
Alih-alih begitu, ia langsung mendudukkan diri di tengah ranjang.
Ibu dari bocah itu mendudukkan diri di pinggir ranjang putri kecilnya,
tersenyum sebentar lantas mengulurkan tangan untuk sekedar mengelus
puncak kepala putrinya, “Kenapa putri cantik bunda belum tidur, hm?”
“Belum mengantuk, Bunda.” Jawabnya seraya merengek. Bibirnya
mengerucut imut, membuat sang Ibu tertawa kecil.
“Kenapa belum?”
Bocah itu menggeleng lemah dengan pipi yang menggembung.
“Hei, tidur sayang. Besok kan sekolah.”
Dengan lembut perempuan itu membaringkan anaknya. Sementara tangannya
membenahi selimut yang menutupi tubuh putrinya agar tidak kedinginan
nantinya.
Bocah itu mengerucutkan bibirnya lagi dengan kening berkerut lucu.
menampilkan pose berfikir yang menggemaskan. “Bagaimana jika Bunda
bercerita sesuatu padaku? Agar aku cepat mengantuk.”
“Cerita apa?” Tanyanya. Alisnya terangkat sebelah, bingung.
“Cerita masa lalu Bunda saja ketika awal mula bertemu Ayah. Ah, iya
benar! Ayo ceritakan, Bunda.”
Perempuan menginjak kepala tiga itu tertawa kecil menanggapinya.
Cerita masa lalu? Huh, memalukan saja. Lihatlah pipinya merona
sekarang.
“Ayolah, Bunda!”
Iris coklat itu menatap putrinya dengan lembut. Bingung sendiri, apa
mungkin hal sememalukan itu harus diceritakan?
“Hei, kenapa harus bercerita seperti itu, hm?”
Bocah imut itu nampak mengetukkan jari telunjuknya ke dagu
berkali-kali, membuat gerakan tubuh yang sedang berfikir.
“Aku kan ingin tau. Ayolah, Bunda!”
Dengan lembut ia mengacak pelan rambut anaknya. Perempuan itu
tersenyum malu. Mengingatnya saja membuatnya merona sendiri dan malu.
Bagaimana jika harus menceritakannya pada putrinya? Ya ampun.
“Baiklah.”
Dengarkan... Ini hanya sebuah kisah sederhana, sayang.
***
menyembulkan kepalanya dari balik pintu. Berniat memeriksa putri
tunggalnya apakah sudah tidur atau belum mengingat ini sudah lewat
dari jam tidur. Keningnya mengkerut, memandang heran pada perempuan
berumur 9 tahun yang bergelung resah di balik selimut bergambar Hello
Kitty, namun matanya belum terpejam sama sekali.
Dengan langkah perlahan ia memasuki kamar putrinya. Membuat sang
pemilik kamar terkejut melihat kedatangan Ibunya yang tiba-tba.
Alih-alih begitu, ia langsung mendudukkan diri di tengah ranjang.
Ibu dari bocah itu mendudukkan diri di pinggir ranjang putri kecilnya,
tersenyum sebentar lantas mengulurkan tangan untuk sekedar mengelus
puncak kepala putrinya, “Kenapa putri cantik bunda belum tidur, hm?”
“Belum mengantuk, Bunda.” Jawabnya seraya merengek. Bibirnya
mengerucut imut, membuat sang Ibu tertawa kecil.
“Kenapa belum?”
Bocah itu menggeleng lemah dengan pipi yang menggembung.
“Hei, tidur sayang. Besok kan sekolah.”
Dengan lembut perempuan itu membaringkan anaknya. Sementara tangannya
membenahi selimut yang menutupi tubuh putrinya agar tidak kedinginan
nantinya.
Bocah itu mengerucutkan bibirnya lagi dengan kening berkerut lucu.
menampilkan pose berfikir yang menggemaskan. “Bagaimana jika Bunda
bercerita sesuatu padaku? Agar aku cepat mengantuk.”
“Cerita apa?” Tanyanya. Alisnya terangkat sebelah, bingung.
“Cerita masa lalu Bunda saja ketika awal mula bertemu Ayah. Ah, iya
benar! Ayo ceritakan, Bunda.”
Perempuan menginjak kepala tiga itu tertawa kecil menanggapinya.
Cerita masa lalu? Huh, memalukan saja. Lihatlah pipinya merona
sekarang.
“Ayolah, Bunda!”
Iris coklat itu menatap putrinya dengan lembut. Bingung sendiri, apa
mungkin hal sememalukan itu harus diceritakan?
“Hei, kenapa harus bercerita seperti itu, hm?”
Bocah imut itu nampak mengetukkan jari telunjuknya ke dagu
berkali-kali, membuat gerakan tubuh yang sedang berfikir.
“Aku kan ingin tau. Ayolah, Bunda!”
Dengan lembut ia mengacak pelan rambut anaknya. Perempuan itu
tersenyum malu. Mengingatnya saja membuatnya merona sendiri dan malu.
Bagaimana jika harus menceritakannya pada putrinya? Ya ampun.
“Baiklah.”
Dengarkan... Ini hanya sebuah kisah sederhana, sayang.
***
Cinta tetaplah sebuah atom misterius yang tiba-tiba bereaksi tanpa
bantuan zat yang diketahui unsurnya. — @dwitasaridwita
***
Kicau burung di pagi hari seolah menjadi musik pengiring sang matahari
beranjak dari peraduannya. Desah semilir angin seolah membisikkan
kata-kata penyemangat memulai hari. Sinar sang mentari menyebar ke
seluruh bagian yang terjangkau, menembus celah-celah jendela rumah,
menghangatkan makhluk hidup yang merasakannya dan menyapa tumbuhan
yang siap berfotosintesis.
Di sebuah rumah sederhana, nampak keluarga kecil yang terdiri dari
seorang kepala rumah tangga, seorang nenek dan satu orang putri
tunggal sedang menikmati sarapan mereka dengan tenang. Roti bakar dan
segelas susu untuk sang putri dan segelas kopi hangat untuk sang
kepala keluarga nampaknya tidak buruk.
“Ayo Dian, dimakan rotinya!” perempuan berumur lebih dari separuh abad
itu tersenyum lembut untuk cucu semata wayangnya. Sementara si empu
nama mendongak dan tersenyum di sela-sela kegiatan mengunyah roti
bakar yang baru digigitnya.
“Ayah, ada yang ingin aku bicarakan. Ini soal pekerjaanku.” Dian
berkata serius selepas meneguk susunya hingga tersisa setengah.
Pandangannya menatap Ayahnya dengan muka yang serius.
Pria itu melirik putrinya dengan alis terangkat, “Bicarakan saja, Nak.”
“Jadi begini, aku ditawari pekerjaan di sebuah perusahaan ternama.
Tapi... lokasi perusahaannya berada di Bogor. Kalau Ayah mengizinkan,
aku akan tinggal disana sampai masa kontrakku selesai. Apa ayah
setuju?” Nada bicara Dian terdengar serius. Tapi, matanya berkilat
memohon, persis seperti dirinya waktu kecil ketika merengek minta
dibelikan mainan. Cara jitunya untuk membujuk sang Ayah.
“Kamu akan bekerja di Bogor? Kenapa kamu memilih bekerja disana?
Bukankah di Jakarta banyak perusahaan besar yang bisa menerimamu? Ayah
takut, Dian, bila harus melepaskanmu bekerja di luar kota yang jauh
dari pengawasan Ayah dan Nenek.”
“Ayah jangan takut. Percaya pada Dian, Dian bisa menjaga diri. Dian
sudah memikirkan dengan matang tawaran pekerjaan itu. Dimana Dian akan
tinggal sudah Dian pikirkan. Ayolah, Ayah! Dian ingin menjadi Animator
yang sukses.”
Sementara satu perempuan dengan keriput di wajahnya nampak terdiam
memperhatikan anak dan cucunya ini. Ia menghela napas sebentar,
sebelum akhirnya menepuk bahu anaknya, “Sudahlah... biarkan Dian
mengejar impian besarnya. Mungkin dia merasa cocok dengan perusahaan
itu. Lagipula, Dian sudah dewasa, bukan seorang anak kecil lagi. Dian
pasti akan baik-baik disana.”
Pria menginjak kepala empat itu terdiam sebentar. Ditatapinya putri
dan ibunya bergantian. Ia mendesah berat, susah untuk menolak jika
sudah begini.
“Baiklah.”
Dian hanya tersenyum bahagia mendengar jawaban dari Ayahnya itu.
Padahal sebelumnya Dian sudah mengira pasti Ayahnya tidak akan
mengizinkanya karena sang Ayah yang tidak mau putri satu-satunya itu
berada jauh dari pengawasannya. Seandainya Ibunya Dian tahu soal
penawaran pekerjaan ini, pasti Ibunya Dian bahagia mendengarnya.
Tapi... kenyataannya Ibunya Dian sudah lebih dulu dipanggil sang Pencipta.
***
Hari keberangkatan Dian pun tiba. Dian mengerti apa yang dirasakan
Ayahnya ketika harus melepaskan putrinya yang akan tinggal jauh
darinya. Tapi, inilah impian Dian. Dan inilah resikonya. Setiap
pilihan punya resiko, kan?
Tidak berapa lama, kereta jurusan Jakarta-Bogor pun tiba. Suara
pemberitahuan pemberangkatan kereta pun sudah terdengar. Ia peluk
erat-erat Ayahnya dan Neneknya . Hah, pasti Dian akan merindukan
perhatian mereka. Dian juga tidak lupa mengucapkan salam kepada Bibi
salah seorang pembantu yang mengurus rumah, pasti Dian akan merindukan
masakannya yang lezat itu.
“Aku pergi, ya! Aku pasti akan merindukan Ayah, Nenek dan juga Bibi.”
Suara Dian terdengar bergetar dan perlahan bulir-bulir air mata jatuh
dengan cepat dari pelupuk matanya. Ia melambaikan tangan sebelum masuk
ke dalam kereta.
“Hati-hati, Nak, disana. Ayah pasti akan merindukanmu. Jaga dirimu
baik-baik, Ya!” suara Ayah mengiringi langkah Dian menaiki kereta.
Dengan melangkah pelan, Dian buru-buru menyeka air matanya. Matanya
bergerak kesana-kemari untuk mencari kursi penumpang miliknya.
Beberapa menit berlalu, akhirnya Dian menemukan kursi itu. Terlihat
seorang ibu-ibu yang sibuk membaca koran yang menjadi penumpang di
samping kursinya. Setelah meletakkan ranselnya di tempat menaruh
barang bawaan, Dian pun duduk. Disandarkannya punggung itu di sandaran
kursi. Baru saja hendak memejamkan mata, tiba-tiba saja seseorang
membangunkannya.
Oh, ternyata petugas pemeriksa tiket.
Alih-alih memberikan tiketnya, Dian mengedarkan pandangannya ke
sekitar. Dahinya mengernyit perlahan ketika dengan tidak sengaja mata
Dian menangkap tulisan di Koran yang menarik perhatiannya.
“Maraknya Kejahatan Dengan Berbagai Cara.”
Tubuh Dian merinding. Perasaan takut menghinggapi dirinya dan
hinggaplah berbagai pikiran negatif-negatif di otak Dian.
***
Setelah melewati dua jam di perjalanan, tibalah Dian di Bogor. Banyak
orang yang hendak berpergian keluar maupun ke dalam kota.
Saat baru saja melewati pintu Keluar, tiba-tiba saja seseorang lelaki
dengan topi yang menutupi sebagian wajah menabraknya. Tidak ada kata
maaf, orang itu langsung pergi begitu saja. Dian sebagai Korban hanya
diam menatap Pria itu yang perlahan menghilang di antara keramaian
orang-orang yang berlalu lalang. Tak mau ambil pusing, Dian langsung
meneruskan langkahnya. Mengingat ini sudah malam, Dian dengan segera
mencari taksi. Dian hanya tak mau tiba di Apartemen yang sudah
disewanya terlalu larut.
Sambil menunggu taksi, Dian mencoba mencari-cari dompetnya. Tapi...
Hilang!
Dompetnya tidak ada di saku celananya. Kemana hilangnya?
Dian kebingungan dimana dompetnya itu berada. Ia mencoba memeriksa ke
semua tas, namun tidak ada juga.
Hah, dasar ceroboh!
Dengan sangat terpaksa, Dian membatalkan niatnya untuk naik taksi.
Pasalnya uang yang ia bawa ada di dalam dompet itu semua, sementara di
sakunya hanya tersisa beberapa lembar ribuan yang mungkin hanya cukup
untuk naik angkutan umum. Ia memang masih punya ATM yang ia simpan di
Ranselnya. Tapi... memangnya taksi menyediakan layanan mesin ATM?
Jadilah dengan terpaksa Dian berjalan ke terminal bus yang lumayan
jauh dari stasiun.
TAP TAP TAP
Bulu kuduk Dian meremang saat telinganya menangkap derap langkah
seseorang yang mendekat ke arahnya. Dian menoleh dengan takut-takut.
Detik berikutnya, mata bulatnya semakin bulat ketika melihat seseorang
berjaket hitam sedang berjalan dengan tergesa ke arahnya. Penerangan
lampu jalan yang sedikit agak menyamarkan wajah itu.
“Maraknya Kejahatan Dengan Berbagai Cara.”
Tiba-tiba saja terlintas sekelebat tulisan yang ia lihat di koran
tadi. Tanpa pikir panjang, dengan ketakutan Dian berlari kencang
sambil sesekali meminta maaf pada beberapa orang yang ia tabrak dengan
tidak sengaja.
Sebuah Bis melintas di jalan Raya di hadapan Dian. Dengan tergesa Dian
memberhentikan Bus itu dan langsung menaikinya.
Dengan segera Dian mendudukkan diri di kursi yang kosong. Wajahnya
yang pucat mengarah ke jendela dan berniat mengintip sedikit orang
yang tadi mengejarnya. Namun, Bus yang sedang melaju itu sudah menjauh
sehingga tidak didapati lagi orang itu.
Seraya membalik tubuh lagi, Dian menyeka keringatnya. Pelan-pelan Dian
menyandarkan punggungnya. Dalam pikirannya tergantung satu tanda tanya
besar.
“Apa tujuan laki-laki itu mengejarku?”
***
“Hei tunggu! Ini—“
Sosok yang tengah berlari itu langsung berhenti seketika kala Bus yang
membawa Perempuan yang ditujunya berjalan menjauh. Tubuhnya setengah
membungkuk dengan kedua tangan bertumpu di lutut. Ia menarik napas
beberapa kali guna menetralisir deru napasnya yang tak beraturan
karena berlari.
Setelah merasa cukup, sosok itu mengangkat wajahnya. Dan dalam
pandangannya tidak lagi didapati Bus yang ia kejar tadi.
Alis sosok itu terangkat seraya memandang bingung pada benda persegi
dalam genggamannya.
“Huh?”
***
Animator, itulah pekerjaan yang dibanggakan Dian. Untuk menjadi
seorang animator dibutuhkan kreativitas yang tinggi, memiliki bakat
menggambar dan menguasai teknologi. Beruntungnya itu semua ada pada
diri Dian sehingga berhasil mengantarkan Dian menjadi animator yang
begitu diminati beberapa perusahaan.
Dian melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu
menunjukkan pukul 21.00 WIB, tepat 10 menit setelah jam pulangnya.
Pandangan Dian mengedar ke jalan Raya. Mendesah pelan saat tak
didapatinya angkutan yang bisa membawanya pulang.
Dengan langkah gontai Dian berjalan mendekati halte tempat menunggu
angkutan umum —tentu saja Dian berharap akan ada angkutan yang
berhenti disana nantinya. Namun, langkah Dian berhenti seketika ketika
sepasang matanya mendapati seseorang yang sedang terduduk di kursi
halte. Wajahnya menunduk, dari perawakannya bisa Dian tebak sosok itu
adalah laki-laki. Kepalanya tertunduk, sibuk membaca sebuah buku yang
ia pegang.
Sejurus kemudian, laki-laki itu pun mendongakkan kepalanya. Benar saja
dia laki-laki, memakai kacamata. Dan baru Dian sadari laki-laki itu
memakai kemeja kerja berwarna biru muda dan dipadukan dengan celana
jeans berwarna hitam. Lekat-lekat Dian memperhatikan wajah laki-laki
itu. Dian merasa... seperti tidak asing dengan wajahnya.
Laki-laki itu juga memandangi Dian seraya mengernyit. Tiba-tiba saja
matanya membulat kaget saat sosok itu mengenali wajah Dian.
“AAAAAA.... KAU! Akhirnya aku bertemu denganmu lagi.”
Dian kaget mendapati laki-laki itu berteriak. Detik itu juga pikiran
Dian terbayang sosok berjaket hitam tempo hari. Tanpa pikir panjang
lagi, Dian langsung berlari kencang untuk menjauhi laki-laki itu.
Tidak peduli, kemana saja asalkan Dian bisa melarikan diri.
“Hai kau... aku sudah lama mencarimu. Kenapa kau—“
Apapun yang laki-laki itu ucapkan, Dian tidak peduli. Yang terpenting
sekarang menjauh darinya jika ingin selamat!
Huh!
Dunia sempit sekali. Kenapa Dian harus bertemu lagi dengan orang yang
ingin berniat jahat padanya —bagi Dian, tentu saja.
***
Pagi hari di Bogor itu menyenangkan. Semilir angin yang menyejukkan
dan pemandangan kota Bogor yang indah Dian dapatkan ketika perempuan
itu berdiri di balkon apartemennya. Dulu ketika di Jakarta, jarang
sekali Dian mendapatkan suasana seperti ini, bahkan mungkin tidak
pernah. Baru saja hendak melipat tangannya di atas pagar balkon,
tiba-tiba saja—
“DIAAANNN!!!” —teriakan seseorang yang menyerukan namanya membuat Dian terkejut.
Dian menoleh. Lantas langsung terlonjak kaget ke belakang ketika
mendapati sosok yang memanggilnya. Laki-laki itu lagi. Apa sebegitu
inginnya sampai harus mengejar Dian ke apartemennya juga?
“Apa yang kau inginkan? Uang? Aku tidak punya uang, dompetku hilang
beberapa hari yang lalu. Tolong jangan berbuat jahat padaku.”
Laki-laki itu menyodorkan sesuatu yang ia ambil dari dalam
apartemennya, pagar balkon yang saling berhimpitan satu sama lain
turut memudahkan laki-laki itu. “Jangan berpikiran yang tidak-tidak.
Aku hanya ingin mengembalikan dompetmu. Beberapa hari yang lalu
dompetmu jatuh di stasiun.” Nada suaranya terdengar datar, tak
berintonasi.
Mata Dian berbinar, dengan sekali gerakan cepat ia merebut dompetnya
sendiri seraya tersenyum riang. “Ah, terima kasih ya ehm...”
“Afgan, namaku Afgan.”
“Ah, iya terima kasih Afgan. namaku—“
“Dian Akiko.”
Dian melongo. Bagaimana Afgan bisa tahu?
“Maaf saja, aku sempat melihat isi dompetmu.”
Semakin melongolah Dian saat mendapati Afgan terkesan tidak peduli
lantas langsung masuk ke dalam apartemennya.
“YAK! TIDAK SOPAN!”
***
Sore itu, Dian sedang menunggu bus di halte. Tiba-tiba saja Dian
melihat Afgan berjalan ke arahnya, ah lebih tepatnya ke arah halte.
Dian berasumsi, Afgan sepertinya habis pulang kerja juga seperti Dian.
Dengan langkah kecil Dian dihampirinya Afgan.
“Selamat sore Afgan! Baru pulang kerja, ya?” sapa Dian dengan ramah.
“Hm.”
“Ehm... dimana kantormu?”
“Di sebrang sana. Gedung yang bercat putih.” Jawab Afgan dengan cueknya.
“Wah kantor kita bersebelahan. Hehehe.”
“Hm.”
Dian mengerucutkan bibirnya dengan kesal. Dalam hati ia menggerutu
atas sikap Afgan.
***
Sudah lewat dua minggu sejak kepindahan Dian di Bogor.
Hari minggu, Dian libur bekerja. Dian hanya menghabiskan waktunya
dengan bersantai-santai di apartemennya sambil menyicil pekerjaannya
yang mulai menumpuk itu.
Tak terasa hari mulai sore, langit senja pun mulai terlihat. Malam ini
Dian harus tidur lebih cepat karena esok ia harus berangkat pagi
karena ada meeting di kantor.
Namun urung, ketika hendak mengganti piyama Dian menggerutu karena
kamar di sebelahnya, yaitu kamarnya Afgan sangat berisik sekali.
Terkadang suara teriakan terdengar, sepertinya Afgan sedang bermain
games.
“Aneh! Apa bermain games harus seheboh itu?”
TOK TOK TOK
CKLEK
Pintu terbuka. Alis Afgan terangkat sebelah ketika didapatinya Dian
berdiri di depan kamarnya dengan tampang masam. “Ada apa?”
“Apakah kau tidak bisa untuk tidak berteriak-teriak saat orang ingin
beristirahat? Besok aku harus bangun pagi asal kau tau saja!” Dian
berujar ketus.
Dengan tampang tidak peduli, Afgan menyelipkan telapak tangannya di
saku celana. “Aku sedang bermain game. Apa sebuah masalah?”
“Tentu saja! Suaramu itu sangat mengganggu, tau! Kalau ingin bermain
game, di lobby saja sana! Kau. Sangat. Mengganggu.”
Masih dengan wajah tidak pedulinya Afgan menatap Dian. Detik
berikutnya ia hanya mengedikkan bahu tidak peduli.
***
Malam itu Dian tidur dengan pulas karena sudah tidak ada lagi suara
berisik Afgan. Pagi ini, Dian harus berangkat pagi-pagi. Banyak
pekerjaan yang harus ia selesaikan di kantornya. Ketika Dian sedang
berjalan menuju lobby, ternyata ada Afgan yang tertidur pulas di Sofa
dengan baju lengan pendek dan celana pendek. Padahal seingat Dian,
semalam itu hujan deras dan tentu saja udara sangat dingini.
“Dia benar-benar melanjutkannya di lobby? Apa tidak kedinginan
tertidur dengan keadaan seperti itu? Ah, sudahlah! Afgan kan
menyebalkan untuk apa aku memperdulikannya.”
***
Pikiran Dian tidak karuan ketika Dian sedang bekerja. Selalu saja
terlintas bayangan seorang lelaki yang Dian sebut menyebalkan itu.
Apa dia tidur dengan baik semalam?
Apa dia tidak kedinginan semalam?
Apa dia baik-baik saja sekarang?
Atau jangan-jangan dia jatuh sakit?
Sungguh! Dian benar-benar frustasi memikirkannya.
Karena rasa penasarannya terhadap Afgan, akhirnya Dian mendatangi
kantor Afgan. Hanya untuk memastikan apakah Afgan baik-baik saja dan
masuk kantor atau tidak.
Ketika Dian sedang memasuki gerbang kantor Afgan, tiba-tiba saja
seorang satpam menghampirinya.
“Ada yang bisa saya bantu?” Tanya satpam itu dengan ramah.
“Ehm... itu... apa bapak tau hari ini Afgan masuk atau tidak?”
Tanyanya dengan cemas.
Satpam itu terlihat berpikir sejenak. “Oh, pak Afgan. Hari ini
sepertinya beliau tidak masuk.”
DEG
Dian tertegun mendengarnya. Apa benar Afgan sedang tidak baik-baik
saja sekarang?
***
TOK TOK TOK
“Afgaaaannn!!!”
Sepulangnya dari kantor, Dian mengetuk pintu Afgan dengan tidak sabar
dan berteriak kencang. Jika diperhatikan, ada nada cemas terselip
disana.
“Masuk saja.” Sayup-sayup terdengar suara dari dalam kamar.
CKLEK
“Apa yang ingin kau lakukan?” Tanya Afgan dengan nada dingin begitu
Dian menampakkan diri di dalam Apartemen Afgan.
“Rrr... aku hanya ingin memastikan apa kau baik-baik saja?”
“Oh yeah... Aku baik-baik saja. Hanya demam itu bukan masalah.”
Dian tertegun mendengarnya. Ini pasti gara-gara dirinya.
“Biar aku mengurusmu sampai sembuh, Oke? Maafkan aku untuk yang semalam.”
Afgan memandang Dian dengan raut wajah yang datar, “Tidak apa-apa.”
“Ini...” Dian menyodorkan sebotol teh hangat yang sebelumnya sudah ia
buat. “Minumlah. Oh iya, apa kau sudah makan? Mau kubuatkan sup?”
tanya Dian perhatian. Sungguh, Dian benar-benar merasa bersalah
sekarang.
“Terima kasih. Aku memang belum makan. Dan lagi... apa kau benar-benar
bisa memasak? Bukankah kau hanya jago membuat gambar animasi, huh?”
Jawab Afgan dengan nada meledek.
Gigi Dian bergemeletuk menahan rasa sebal pada Afgan. Meski sedang
sakit Afgan tetap saja menyebalkan.
“Yak! Enak saja, aku bisa memasak tau! Kau sedang sakit kenapa tetap
menyebalkan, sih!”
Beberapa menit kemudian...
“Ini! Habiskan supnya setelah itu minum obat.”
Afgan melirik sebentar ke arah Dian, sebelum akhirnya menerima sodoran
semangkuk sup dari Dian. Sempat terdiam laki-laki itu ketika menyuapi
sesendok sup ke dalam mulutnya.
“Ternyata sup buatanmu enak. Kau cocok menjadi istri yang baik.”
“Menjadi apa?” Tanya Dian kebingungan, pasalnya ia tidak begitu jelas
mendengarnya.
“Tidak, aku merasa lebih baik. Terima kasih, Dian.”
Tanpa Dian ketahui, Afgan sempat tersenyum tipis di sela-sela makannya.
***
“Aku harap Afgan baik-baik saja.”
Dian bergumam. Malam yang dingin ini Dian hanya membaringkan tubuhnya
di ranjang sambil mendengarkan musik dari ponselnya. Tak terasa jam di
Apartemen Dian sudah menunjukkan waktu 21.00 WIB. Baru saja hendak
tidur, tiba-tiba saja.
DRTTT DRTTT
Ponselnya bergetar dua ketukan. Itu artinya ada sebuah pesan masuk.
Rupanya, dari Ayah.
Assalamualaikum. Apa kabar putriku sayang? Apa kau betah tinggal di
Bogor? Ayah dan Nenek sangat merindukanmu disini. Oh iya, apa kau
sudah punya kekasih disana? Pasti banyak hal yang kau temui disana.
Selamat tidur, nak, jaga dirimu baik-baik.
Dian hanya tersenyum melihat pesan singkat yang dikirim oleh Ayahnya
itu. Aneh sekali, tiba-tiba saja Ayahnya itu menanyakan tentang
‘kekasih’.
Memikirkannya, Dian jadi bingung dengan perasaannya akhir-akhir ini.
Perasaannya sulit dimengerti setiap ia bertemu dengan laki-laki itu.
Ia merasakan sesuatu yang berbeda walaupun lelaki itu menyebalkan. Oh
yeah, lelaki yang dimaksud memang Afgan.
Namun, Dian tidak memperdulikak apa yang ia rasakan saat ini. Yang ia
pikirkan saat ini hanya perkejaannya. Lagi pula, kalau jodoh pasti
bertemu.
Sambil tersenyum, Dian membalas pesan Ayahnya.
Waalaikumsalam. Aku baik-baik saja. Aku harap Ayah dan Nenek juga
dalam keadaan baik-baik saja. Aku pun sangat merindukan Ayah dan
Nenek. Hahaha, kekasih? Aku belum memikirkannya Ayah, mungkin aku
masih ingin fokus pada pekerjaanku.
SENT!
***
Hidupnya kini lebih berwarna dengan kehadiran seseorang yang —ehm Dian
nampaknya harus mengakui— mulai ia cintai. Walau cinta itu tak bisa
diungkapkan, namun biarkanlah waktu yang akan mengungkapkannya nanti.
Senyum hangat yang akhir-akhir ini sering disuguhkan Afgan selalu
membayangi pikirannya. Walau terkadang menyebalkan, namun sikapnya
itulah yang membuat hidup Dian lebih berwarna. Dan jujur, Dian juga
merindukannya.
***
Langkah kaki Dian mulai memasuki sebuah Toko Roti yang jaraknya tidak
jauh dari apartemennya. Dian memakai kaos santai berwarna biru
dipadukan celana jeans berwarna biru tua dengan rambut ia biarkan
terurai sebahu.
Setelah memilih roti mana yang akan ia beli, Dian pun bergegas ke
kasir. Antrian pun cukup panjang, terpaksa Dian harus menunggu
beberapa menit sampai gilirannya tiba.
Baru saja ingin meletakkan nampan roti di meja kasir, tiba-tiba saja
seseorang lelaki berpakaian kemeja lengkap dengan jas warna hitam
merebut giliran Dian.
“Hei! Anda harusnya antri! Saya sudah menunggu lama dan anda seenaknya
saja merebut giliran saya.” Kata Dian dengan menggeram.
Setelah memperhatikan wajah Lelaki itu dengan baik, ternyata Dian baru
sadar lelaki itu ternyata Afgan. Lagi-lagi dia yang membuat emosi Dian
meluap-luap.
“Oh, maaf Dian. Pagi ini aku ada meeting dan aku harus buru-buru.”
Jawab Afgan sekenanya.
“Tapi—“ belum selesai Dian bicara, tiba-tiba saja jari telunjuk Afgan
di depan bibir Dian, mengisyaratkan kepada Dian untuk diam dan tenang.
“Mbak, roti dia biar sekalian saya yang bayar.”
“Te-terima kasih.” Hanya ucapan singkat itu yang Dian lontarkan kepada Afgan.
Langkah kaki Dian mulai keluar dari Toko Roti itu, tiba-tiba saja...
“Dian, tunggu!”
Suaranya seperti Dian kenal. Itu... suara Afgan! Lelaki yang diam-diam
ia cintai.
“Hati-hati di jalan, ya! Maaf sudah membuatmu marah. Sampai jumpa peri cantik.”
Dian hanya Diam membisu. Apa Dian tidak salah dengat? Peri cantik?
Sebutan Afgan untuknya? Afgan, laki-laki yang ia cintai sepenuh hati.
Hah, ini seperti mimpi.
Buru-buru ia melanjutkan perjalanannya untuk kembali ke apartemen.
Dian masih tidak percaya dengan kejadian tadi. Padahal Afgan seorang
lelaki yang menyebalkan, tetapi Afgan bisa berubah romantis seperti
itu.
Hah, memang benar ya. Penampilan luar tidak menentukan bagaimana dalamnya.
***
Setelah beberapa hari libur, akhirnya Dian kembali bekerja. Banyak
pekerjaan yang harus ia selesaikan tepat waktu. Dian harus profesional
karena tempat ia bekerja bukan perusahaan biasa, tapi perusahaan yang
sudah mempunyai nama baik dan tak mungkin akan Dian sia-siakan.
Waktu terus berlalu, tak terasa matahari mulai terbenam. Malam itu
begitu dingin ditambah hujan yang mengguyur kota. Dian terus menunggu
taksi di depan halte, tapi tak ada yang lewat. Kalaupun ada, pasti
sudah ada penumpang lain. Begitulah Dian menunggu dengan tubuh yang
mulai menggigil.
Tiba-tiba ada mobil berwarna silver berhenti di depan halte. Kaca
mobil itu terbuka dan ternyata itu Afgan.
“Cepat naik ke mobilku.” Kata Afgan dari dalam mobil.
Tanpa pikir panjang Dian langsung masuk ke dalam mobil. Dan Dian duduk
di bangku depan, tepatnya di sebelah bangku kemudi. Dian masih
kedinginan. Keadaan jalan malam ini lumayan macet, mau tak mau Dian
harus sabar menahan dingin pada tubuhnya.
Alih-alih melihat tubuh Dian yang menggigil kedinginan, Afgan langsung
mengambil sesuatu dari jok belakang.
“Pakai ini!” Kata Afgan sambil menyodorkan jaket berwarna biru tua.
“Lalu, kau sendiri?”
“Tidak usah dipikirkan. Cepat pakai itu sebelum bertambah dingin.”
Jawab Afgan sambil fokus menyetir mobil.
Setelah memakai jaket itu, Dian merasa lebih hangat. Wangi khas jaket
itu begitu menenangkan.
Selama beberapa menit, Afgan dan Dian saling mendiamkan. Tidak ada
pembicaraan yang tercipta.
“Kau tinggal sendirian ya?”
“Kau tinggal sendirian ya?”
Keduanya bertanya hal yang sama dan terucap bersamaan. Tawa keduanya
yang menanggapi setelah itu. Ternyata apa yang mereka pikirkan sama.
“Kau dulu.” Afgan berucap setelah tertawa.
“Ya, aku tinggal disini sendirian. Keluargaku berada di Jakarta.”
Afgan terkekeh, “Kita sama.”
“Kenapa bisa, ya? Padahal kan kita tak pernah akur.”
“Mungkin kita jod— ah maksudku, Iya kita kan memang tak pernah akur.”
Jawab Afgan gugup, seraya menggaruk tengkuknya dengan sebelah tangan.
“Ya, karena sifatmu yang menyebalkan.”
“Tapi itu membuatmu rindu padaku, kan?
“E-eh? Enak saja! Tentu tidak!”
Malam itu sangat menyenangkan. Banyak hal yang mereka bicarakan. Dan
sesekali gelak tawa terdengar diantara pembicaraan Afgan dan “Peri
Cantik”.
***
Semenjak kejadian itu, Afgan dan Dia makin dekat. Terkadang mereka
pergi berdua pergi bersama-sama seperti ke toko musik, cafe ataupun
taman dan tempat rekreasi lainnya.
Mereka berdua terlihat cocok sekali, saling melengkapi satu sama lain.
Namun, belum keluar juga ucapan bahwa mereka saling mencintai dan
ingin selalu bersama.
***
Beberapa kali ponsel Dian berdering menandakan bahwa ada panggilan masuk.
‘Assalamualaikum, Dian.’ Suara seseorang di sebrang sana.
“Iya, Waalaikumsalam, Nek.”
‘Apa kabar kamu, Dian?’
“Alhamdulillah sehat, nek. Nenek sendiri?”
‘Alhamdulillah sehat.’
“Syukurlah. Oh iya, ada apa nenek menelpon Dian?”
“Tidak ada , nenek hanya ingin mengingatkan untuk Jangan lupa
beribadah. Jaga kesehatanmu juga.’ kata Nenek dengan nada yang lembut.
“Siap, nek! Nanti kalau sempat aku akan pulang ke Jakarta. Aku
benar-benar merindukan Nenek dan Ayah.”
‘Nenek juga rindu Peri kecil Nenek. Sudah dulu, ya. Ada suatu urusan
yang harus nenek selesaikan. Assalamualaikum.’
“Urusan ap—“
TUT TUT TUT
Sambungan terputus.
***
Sepulang dari kerja, Dian menunggu taksi datang. Sudah lewat 15 menit
dari jam pulangnya.
Tak disengaja, mata Dian yang sedang mengedar tiba-tiba menangkap
sosok Afgan bersama... seorang perempuan. Mereka berdua terlihat
sangat mesra dan sesekali ada gelak tawa di antara pembicaraan mereka.
Afgan merangkul perempuan itu. Dian yang melihatnya dari kejauhan
hanya bisa diam membisu. Baru saja bunga-bunga bermekaran di hatinya.
Namun, sekarang Dian harus disuguhkan pemandangan menyakitkan.
Tak lama kemudian taksi datang dan Dian pun bergegas masuk ke dalam.
Ia masih bertanya-tanya dalam hati.
Siapakah perempuan yang Afgan rangkul?
Mengapa mereka terlihat mesra?
Apa mereka sepasang kekasih?
Mungkin ini jawaban dari perasaan Dian bahwa mungkin cintanya tak akan
terbalaskan. Dian harus cepat-cepat melupakan Afgan.
Sesampainya di apartemen, Dian langsung membaringkan tubuhnya dan
menatap lekat-lekat foto Dian bersama Afgan di atas meja kerjanya.
Kenangan yang tak pernah terlupakan.
***
Sepertinya ini waktu yang tepat untuk Dian berkunjung ke Jakarta dan
sejenak melupakan Afgan.
Ketika Dian keluar dari lift tiba-tiba saja ada Afgan dan perempuan
itu. Afgan yang melihat Dian hanya menyapanya dengan senyuman lalu
berbicara dengan perempuan itu lagi.
Dian pun langsung keluar menuju taksi yang telah menunggunya dari
tadi. Setelah sampai di stasiun, Dian langsung membeli tiket kereta
dengan keberangkatan pukul 17.55 WIB.
***
Dian sudah tiba di jakarta, tepatnya di komplek dimana rumahnya berada.
Dari kejauhan Dian melihat rumahnya ramai sekali dan orang-orang yang
datang pun memakai pakaian serba hitam. Perasaan Dian resah
melihatnya. Muncul pikiran-pikiran negatif namun Dian menepisnya
kuat-kuat.
Perlahan langkahnya memasuki gerbang rumahnya. Orang-orang yang
melihat Dian begitu kaget melihat kedatangan Dian yang begitu
mendadak.
“Dian!” seru Ayah Dian. Lelaki itu langsung memeluk Dian dan sesekali
tangannya mengelus kepala Dian.
“Ayah, ini ada apa? Nenek mana?” Tanya Dian dengan suara yang
terdengar bergetar.
“Nenek... nenek sudah kembali ke pangkuan-NYA, nak.” jawab Ayah dengan
air mata yang berlinang. Wajar jika ia menangis, karena ibu yang
merawatnya seumur hidupnya itu pergi untuk selamanya.
“Ayah bohong! Beberapa hari yang lalu nenek bicara sama Dian kok di
telepon. Nenek pasti lagi di kamar kan? Nenek pasti lagi tidur.” Racau
Dian yang mulai menangis.
Tubuh Dian lemas, ia tak sanggup lagi berdiri bahkan hanya untuk
sekedar menopang tubuhnya. Segera saja orang-orang membawa Dian ke
kamarnya. Dian masih terus menangis sambil memeluk syal buatan sang
nenek yang dijadikan nenek kado ulang tahunnya, tahun lalu
Dian begitu menyayangi neneknya. Sama besarnya seperti ia menyayangi
kedua orang tuanya.
***
Semenjak nenek Dian sudah tiada, Dian lebih sering diam dan mengurung
diri di kamar. Mungkin luka yang dulu kembali mengisi hatinya, yaitu
kehilangan orang yang disayangi. Mungkin Dian tidak akan bekerja dulu
dalam waktu lebih lama karena kondisinya tidak memungkinkan untuk
kembali beraktivitas seperti biasa. Ditambah lagi hatinya masih sakit
melihat ‘sang—pujaan—hati’ bermesra-mesraan bersama orang lain.
Jatuh cinta memang tak selamanya indah, terkadang harus merasakan
pahitnya dulu. Apalagi cinta itu belum tersampaikan. Lengkap sudah.
“Permisi...” suara seseorang di luar gerbang.
“Iya, sebentar.” Jawab Ayah Dian.
Kening Ayah Dian berkerut melihat orang yang datang tidak dikenalnya.
“Maaf Om saya mengganggu. Saya temannya Dian. Apa Diannya ada?” Tanya
seseorang lelaki dengan santun dan senyum ramah. Dia, Afgan.
“Ada, silahkan masuk. Dian sedang dikamarnya. Semenjak kepergian
neneknya ia lebih sering mengurung diri dikamar.”
Afgan menggaruk tengkuk belakangnya, ia nampak gugup. “Boleh saya
masuk ke kamar Dian untuk menemuinya?”
“Tentu saja.”
Ternyata Afgan tidak sendiri berkunjung ke rumah Dian. Ya, Afgan
bersama perempuan yang ia perlakukan dengan ‘mesra’ itu.
“Hai Dian! Aku datang, pasti kau merindukanku, kan?” Ledek Afgan di
ambang pintu kamar Dian yang terbuka.
Dian yang sedang membaringkan tubuh sempat terkejut. Tak mau ambil
pusing, ia langsung menarik selimutnya guna menutupi wajah dan
tubuhnya. Saat ini Dian tidak ingin melihat Afgan, terlebih lagi Afgan
sekarang tidak sendiri melainkan bersama perempuan yang Dian pikir itu
adalah kekasih Afgan.
Dian hanya diam, berpura-pura tak mendengar ucapan Afgan.
“E-eh? Apa kau tidak merindukanku?”
Masih menutupinya dengan selimut, Dian berujar ketus, “Tidak! Untuk
apa aku merindukan seseorang yang sudah punya kekasih.”
“Kekasih? Siapa?” Tanya Afgan bingung dengan kening yang berkerut.
“Itu perempuan di sebelahmu.” Lagi-lagi Dian menjawab dengan nada ketus.
Mata Afgan menatap sebentar ke sebelahnya, sejurus kemudian ia
menyeringai jahil.
“Aaa... kamu cemburu ya?”
Wajah Dian memerah seketika, “Ti-tidak!”
Padahal di dalam hati Dian, ia sangat cemburu. Namun, mengingat Dian
bukan siapa-siapa Afgan membuat perempuan itu harus berbohong.
Afgan tertawa menanggapi tingkah Dian.
“Perempuan ini namanya Ghea. Dia adikku. Aku dan Ghea memang sangat
dekat sekali, maka dari itu orang-orang sering mengira kami itu
sepasang kekasih. Padahal kan, Ghea itu adik kandungku sendiri.”
“Iya kak, aku ini Ghea adiknya kak Afgan. Saat ini aku memang sedang
berlibur di Bogor.”
SREETT
Dengan cepat Dian menyingkap selimutnya dan langsung terduduk di
tengah ranjang. Wajahnya langsung memerah karena malu, apalagi
sebelumnya Dian sudah berlaku ketus pada Afgan dan Ghea.
“Hah? Adik? Ja-jadi... Ah maafkan aku ya sudah menuduhmu yang tidak-tidak.”
Perempuan manis berstatus adiknya Afgan itu tertawa kecil melihat
tingkah Dian. “Tidak apa, kak. Jangan sedih lagi ya, kak. Disini kan
kakak masih punya orang-orang yang sayang sama kakak, terutama A—“
Mendadak Ghea bungkam seketika.
“A? A siapa?”
“Ayah kakak maksudnya. Hehehe.”
Di sisi lain, Afgan mukanya langsung memerah sama seperti Dian. Hampir
saja Ghea membocorkan rahasianya.
Sore itu Afgan, Dian dan Ghea bersantai di halaman belakang sambil
berbincang-bincang dan tertawa sesekali. Dian sudah tidak sedih lagi
karena ia sadar bahwa hidup masih terus berjalan. Biarpun orang yang
ia sayangi sudah pergi, namun ia masih mempunyai orang-orang yang
menyayanginya.
***
Sore yang cerah Dian dan Afgan pergi ke sebuah pantai. Dian tampak
cantik meskipun hanya mengenakan pakaian sederhana dengan rambut yang
ia biarkan tergerai. Begitupun Afgan yang hanya mengenakan kaos biasa
dan jeans tapi terlihat tampan. Mereka tampak serasi.
Deburan ombak terdengar menyapa dengan jelas. Angin laut pun berhembus
dengan lembut, seolah-olah sedang bermain dengan burung-burung yang
berterbangan dengan bebas. Dian dan Afgan duduk dipinggir pantai
sambil menikmati air laut yang sesekali menyapa tepi pantai.
“Dian?” kata Afgan yang mulai membuka pembicaraan.
“Ya, ada apa?”
“Aku ingin suatu hari nanti kita bisa berlibur di pantai indah
lainnya. Namun, aku hanya ingin bersamamu. Hanya bersamamu.”
Dian menoleh dengan senyum lembutnya, “Tenang saja, aku akan menemanimu.”
“Dian, aku juga ingin ketika kita ke pantai lagi, aku dan kamu sudah
punya hubungan yang spesial.”
“Spesial? Memangnya kamu pikir martabak?” Dian terkikik di akhirnya.
“Aku serius! Aku ini... sangat mencintaimu.”
Dian langsung tertegun.
Afgan... mencintainya?
Apa ini mimpi?
“La-lalu?” Tanya Dian dengan gugup. Dada Dian bergemuruh dengan wajah
merah merona.
“Aku ingin kau dan aku bersama selamanya. Aku tak ingin kehilanganmu,
meskipun terkadang kamu begitu cerewet dan menyebalkan namun rasa
cintaku takkan pernah habis.” Jelas Afgan yang meyakinkan Dian bahwa
Afgan benar-benar cinta.
Dian masih Diam, lidahnya kelu hanya sekedar untuk menanggapi ucapan
Afgan. Wajah Dian benar-benar merah padam karena situasi. Sebenarnya
Afgan ingin tertawa melihat wajah Dian yang memerah, namun Afgan
berusaha menahannya.
“Hei, jangan diam begitu. Katakan sesuatu. Aaa... aku tau kau juga
mencintaiku kan?” Ledek Afgan.
“Ti-tidak kok.”
“Ah, kau bohong. Buktinya waktu aku sakit kau begitu perhatian padaku.
Lalu sikapmu begitu ketus padaku karena kamu menyangka bahwa Ghea itu
kekasihku. Apa itu kurang cukup mengartikan bahwa kau mencintaiku?”
Dian menggaruk pipinya dengan salah tingkah. Apa yang dikatakan Afgan
ada benarnya juga.
“Baiklah, aku mengaku bahwa aku juga mencintaimu.”
“Itu artinya mulai sekarang kau menjadi kekasihku.”
“Kekasih? Sejak kapan kau memintaku untuk menjadi kekasimu?”
“Oke, kau mau tidak jadi kekasihku? Pasti kau mau kan, aku ini kan
tampan baik pula.” Ucap Afgan dengan penuh percaya diri.
Dian mencibir Afgan, “Percaya diri sekali.”
“Lalu?”
“Aku ingin menjadi perempuan yang selalu ada di hidupmu. Kunci aku di
hatimu lalu buang kunci itu sejauh mungkin sampai tidak ditemukan oleh
siapapun.”
Perlahan jemari Afgan mulai menyusup di celah-celah jemari dian. Afgan
menggenggam jemari Dian erat, menandakan seolah-olah Afgan meminta
Dian untuk tetap di sampingnya dan tidak pergi kemanapun untuk
meninggalkannya.
Matahari mulai terbenam di ufuk barat. Menambah indahnya suasana manis
yang tercipta di antara keduanya.
“Aku tak ingin kehilanganmu, Dian Akiko. Setelah sekian lama menunggu
cinta ini datang, akhirnya aku menemukanmu di ujung penantiaku.”
Sore itu ditutup dengan senyuman hangat Afgan. Sore ini indah ketika
seseorang mulai menyadari bahwa ia telah menemukan cinta yang selama
ini ia cari.
***
“Jadi,begitu bunda ber---“
Cerita Dian terhenti ketika sebuah dengkuran halus
menyapa telinganya. Wanita itu mengulas senyum penuh sayang saat
mendapati putri kecilnya memejamkan mata dengan damai dan deru
nafasnya yang teratur. Ah, dia tertidur rupanya.
Dengan penuh kelembutan Dian merapihkan letak selimut bermotif
Hello Kitty yang menghangatkan tubuh putrinya. Alih-alih berikutnya
Dian medaratkan kecupan hangat di dahi putrinya. Dian mulai beranjak
dengan langkah pelan setelah sebelumnya mematikan lampu kamar,
menyisakan lampu tidur diatas meja belajar menyala.
Diluar Dian tersenyum, dalam hati ia bersyukur. Memiliki
seorang putri kecil dalam rumah tangganya adalah sebuah anugerah besar
di hidupnya. Dan Dian menyimpulkan satu hal yang membuat dirinya
semakin merasa bahagia.
Ketika Dian menemukan cintanya, Afgan… Disaat itu juga dia
menemukan kebahagiaan baru dalam hidupnya.
***
Begitulah, aku menemukan cinta yang luar biasa dalam kisah yang biasa.
***
No comments:
Post a Comment