By : @Nisa_Habiba
‘Masih di ruang putih ini. Menunggu kamu, menunggu keajaiban’
***
“Oke,dek.
Jangan telat ya!”, kata Mbak Fira sebelum aku menutup handphone ku.
Seperti biasa, kami selalu datang ke event-event Afgan bersama-sama
dengan afganisme yang lainnya.
Di
sana sudah ramai. Aku telah berkumpul dengan afganisme-afganisme yang
lain. Tempat kami sangat strategis. Tepat di depan panggung.
***
“Afgan
! Afgan ! Afgan !”,teriakan penonton yang super-super crowded banget
ini menggema. Akhirnya Afgan muncul di panggung. Suara riuh penonton
mengiringinya. Kali ini, dengan kemeja putih beraksen hitam pada daerah
kancingnya, Afgan benar-benar mempesona kami semua. Semua ini yang
membuat aku menyukainya. Aku selalu ingin menjadi seorang Afgan. Dia
bisa membuat kami begitu menyukainya. Dia selalu berhasil membuat kami
semua bangga menjadi penggemarnya.
“Nah,
buat lagu yang satu ini, gak enak kalo nyanyinya sendirian,” . Tak
kusangka, Afgan mengulurkan tangannya padaku. Aku tak tau apakah ini
hanya mimpi atau benar-benar terjadi. Bagaikan melayang. Aku pun meraih
tangannya dan melangkah menuju panggung. Teriakan penonton memenuhi
telingaku. Seketika aku tenggelam setelah Afgan melihatku dengan
matanya. Lagu Bukan Cinta Biasa mengalun dengan indah. Tuhan,aku mohon
hentikan waktu saat ini juga!
Seperti
yang kuduga. Afganisme mulai mengomeliku dengan omelan-omelan konyol
mereka sembari tertawa-tawa dalam perjalanan ke hotel tempat Afgan
menginap. Aku bersyukur masih bisa hidup sampai hari ini. Aku bisa
merasakan hangatnya persahabatan ini. Tentu saja dengan bonus
senyumanmu, Afgan. Tak terasa kami sudah sampai ditempat yang kita tuju.
“Hai,
guys!”, suara Afgan membuat kami serentak berbalik badan. Satu hal yang
baru aku ketahui. Afgan ternyata lebih ganteng dari yang aku kira :D .
Kami pun langsung menyerbu Afgan. Tak lama kemudian, kami sudah
disibukkan dengan kegiatan-kegiatan yang biasa dilakukan afganisme saat
bertemu Afgan.
Setelah
selesai berfoto dan sibuk dengan semua permintaan kami,sampailah
waktunya Afgan take off untuk pulang ke Jakarta. Kami mengiringi Alphard
hitam itu menuju bandara. Gak tau kenapa, Afgan selalu berusaha menoleh
padaku dari jendela mobilnya. Seperti tatapannya di panggung
kemarin.Sangat berarti.
***
Sebenarnya kami nggak mau Afgan pergi hari ini. Tapi mau bagaimana lagi. Kita nggak berhak untuk itu.
Sebelum
afgan masuk ke waiting room, secara bergantian kami mengucapkan salam
perpisahan padanya. “Makasih ya,Gan !”. Hanya kalimat itu yang bisa
kukatakan. Aku sangat ingin semua ini terulang kembali. Aku nggak tau
kapan semua ini terjadi kembali.
Aku
yang terakhir mendapat giliran untuk bersalaman dengan Afgan. Aku
menggenggam erat tangannya. Aku hanya bias tersenyum tipis sambil
memandangnya. Waktunya dia pergi. Kami melambaikan tangan kepadanya.
Ketika semua afganisme berpaling, Afgan mengambil secarik kertas dari
sakunya lalu memberikannya padaku. Apa ini?
***
Tegang,
kaget, dan tercengang. Tiga kata yang tepat untukku saat membaca kertas
itu. Satu kalimat yang cukup membuat detak jantungku berhenti seketika.
“I hope you believe me”
Dibawah
kalimat itu terdapat deretan angka-angka yang menunjukan sebuah nomer
handphone. Hal ini terlalu aneh untuk terjadi padaku, pada kehidupanku.
Apalagi semuanya berkaitan dengan seorang Afgan. Ya, AFGAN !
Aku
mencoba menghubungi nomer tersebut. Jantungku berdebar cepat saat
mendengar nada sambung di telingaku. “Halo?”,suara itu membangunkan
lamunanku. Aku hanya diam. Aku mengenal suara ini. “Halo? Siapa ya?”.
Aku kembali tersadar dari lamunanku lagi. “A-A..A.AAFGAN?!”.”Iya. Maaf,
ini dengan siapa?”. Aku tak percaya. Aku sedang menelepon seorang idola
yang sangat kuimpikan. “Ma-Ma..af ya kalo ganggu. A..aku afganisme.
K..ka..kamu sendiri kan yang ngasi nomer ini ke aku?”.”Oh, kamu.” Lalu
hening. Kami tidak mengatakan sepatah kata pun selama beberapa menit.
“Oh, maaf kalo mungkin kamu kaget sama semua yang aku lakuin ke kamu.
Tapi semua ini bukan nggak ada artinya.”
Dia
bercerita bahwa aku mengingatkannya pada seseorang. Erlin. Sahabat
Afgan sejak kecil. Ia berkata bahwa aku sangat mirip dengan Erlin.
Sikapku padanya, tatapanku padanya, mirip dengan cara Erlin
memperlakukan Afgan. Kata Afgan, Erlin begitu mencintai dirinya. Afgan
sebenarnya ingin membalas cinta Erlin. Dia sangat berusaha tapi
perasaannya ingin ia menyayangi Erlin hanya sebagai seorang sahabat
baik.
Suatu hari, Erlin
terjatuh dan menyebabkan dagunya terluka. Luka tersebut mengeluarkan
banyak darah Erlin. Afgan yang mengantarkannya pergi ke rumah sakit
terdekat untuk mengobati lukanya. Setelah mengobati lukanya, dokter
menyuruh Erlin untuk berjalan mengikuti sebuah garis lurus. Mereka
heran. Apa hubungan antara garis lurus dan luka pada dagu Erlin. Tetapi,
saat Erlin mencoba berjalan mengikuti garis tersebut, selalu gagal. Ia
mencoba terus-menerus dan tidak berhasil. Sang dokter hanya menghela
nafas.
Keesokan harinya,
Erlin menelepon Afgan sambil terisak. Ia berkata bahwa dokter
menghubunginya dan menyampaikan bahwa Erlin terdiagnosis penyakit
Ataxia. Sebuah virus yang menyebabkan gangguan pada keseimbangan,
syaraf, dan berakhir pada gangguan otak yang dapat menyebabkan kematian.
Hening.
“Oke,gan. Aku kesana.” Kutekan tombol dial off di handphone ku. Aku
hanya bisa terdiam. Bagaimana bisa aku menolong orang yang lebih
dicintai seseorang yang kukasihi lebih dari diriku? Yang ku ingat hanya
satu, pengabdian.
***
`
Pagi ini cerah sekali. Langit masih memerah. Burung-burung terbang
menambah keindahannya. Ya Jakarta, sampailah aku disini. Dulu, aku
selalu bermimpi akan mewujudkan seluruh impianku disini. Termasuk
bertemu kamu,gan. Tapi saat ini tujuanku hanya satu, Erlin. Dia
membutuhkanku.
Afgan berada
sangat dekat denganku saat kami melewati sebuah koridor serba putih
ini. Sebenarnya aku sungguh-sungguh tak percaya bahwa aku sedang
beriringan dengan seseorang yang sangat aku impikan.”Eh,ingat
Erlin,Ta!”. Sekejap semua anganku terhembus gelombang angin di otakku.
Akhirnya
kami tepat di depan sebuah pintu bertuliskan kalimat yang kurang
kumengerti,”Rawat Intensif”. Saat aku memasukinya, tercium bau khas
obat-obatan yang asing di hidungku. Tapi terlihat sekali bahwa pasien
yang tinggal di sini sudah cukup lama berada di ruangan ini. Di tengah
kamar itu, ada sebuah tempat tidur rumah sakit yang sudah disulap
senyaman mungkin.
Erlin
itu memang cantik. Aku bisa melihat dari tatapan matanya. “Erlin, ini
Nocta. Nocta, ini Erlin.” Afgan memperkenalkanku padanya. Erlin berusaha
meraih tanganku. Begitu sulit untuknya. Aku pun segera menggenggam
tangannya dengan sepasang tanganku. Senyum Erlin merekah dengan
manisnya. Seakan-akan aku bisa merasakanapa yang dia rasakan sekarang.
Erlin adalah gadis yang sangat kuat. Bahkan orang lain belum tentu setegar dia.
Sebuah
virus asing merusak sebagian masa mudanya. Ketika seluruh
teman-temannya sibuk mengobrol dengan asiknya, Erlin hanya bisa
terbaring lemah di ranjang rumah sakit yang selalu menemaninya
kapanpun.”Hebat kamu,Lin!”
***
Sejak
hari itu, setiap pagi aku selalu pergi menemui Erlin. Aku berusaha
‘menularkan’ kebahagiaan sebagai seorang remaja kepadanya. Terkadang ia
menggerakan kedua tangannya saat aku bercerita. Aku menceritakan
bagaimana rasanya menjadi salah satu fans Afgan. Begitu susahnya menemui
Afgan yang sangat diidolakan banyak gadis. “Kamu sih enak,Lin. Bisa
ketemu si Agan kapan ajaa…Hahaha.” Erlin membalas guyonanku dengan
senyum simpulnya. Aku juga menceritakan banyak ulah yang kulakukan saat
di SMP dulu. “Pokoknya Lin, aku itu udah kayak sejoli sama yang namanya
aspal. Dikit-dikit jatoh, dikit-dikit jatoh. Hehehe.” Erlin berusaha
tertawa, lagi-lagi dia hanya membalas dengan senyumannya. Begitu
seterusnya sampai matahari berganti menjadi bulan.
Hari
demi hari cepat berlalu. Tetapi semakin hari keadaan Erlin malah
memburuk. Ditambah dengan tidakadanya obat untuk virus itu.
Spinocerebellar ataxia, ia tidak berhak berada di tubuh Erlin.
Aku
dan Afgan hanya bisa menatap Erlin yang tak sadarkan diri. Air mataku
berlinang lebih cepat dari yang kuduga. Afgan menggenggam erat tangan
Erlin. Hatiku bergejolak melihatnya. Aku berusaha melawan perasaan itu.
Aku tidak boleh menghianati Erlin, termasuk di dalam hati. “Aku keluar
dulu ya,gan.” Afgan menganggukan kepalanya dan tetap menatap Erlin
dalam-dalam.
***
Tuhan,
seberapa bodohnya diriku? Aku harus menyelamatkan Erlin. Tetapi suara
hatiku melawan. Aku mencintai Afgan. Kali ini aku telah berhasil
menggapainya dan kali ini juga aku akan melepasnya demi menyelamatkan
nyawa orang lain yang bisa kapan saja merebut Afgan dariku.
Sore
itu kuhabiskan dengan terdiam di koridor sebuah rumah sakit yang
menjadi saksi betapa jahatnya diriku, betapa kejamnya diriku. Otakku
sudah terbenam dalam semua pikiran yang sungguh memenuhi kepalaku.
“Tuhan, aku harus gimana lagi?” Hening.
Aku
tidak kuat melihat semua ini. Aku tidak sanggup melihat Erlin yang
hanya bisa bertahan hidup dengan seluruh selang-selang yang memenuhi
tubuhnya. Aku tidak sanggup melihat Erlin yang hanya bisa bernafas
dengan sebuah tabung besar oksigen yang ada disampingnya. Aku tak
sanggup melihat kehidupan Erlin yang selama ini telah menjadi teman
baikku hanya bisa terlihat dari garis-garis yang tidak kumengerti di
sebuah layar di sebelah ranjangnya. Aku tidak sanggup melihat Erlin yang
cantik hanya bisa terbaring diam karena koma.
Tetapi
aku juga tak sanggup melihat Afgan yang begitu peduli padanya. Aku tak
sanggup melihat Afgan duduk memandang Erlin dengan tatapan penuh harapan
setiap waktu. Aku tidak sanggup melihat Afgan yang sepertinya berhasil
membalas jasa Erlin selama ini dengan mencintainya. Aku tidak sanggup,
Tuhan…
***
“Gan,
bisa ngomong sebentar?” Untuk kesekian kalinya, Afgan membalas ucapanku
hanya dengan menganggukan kepala tanpa mengalihkan pandangannya pada
Erlin.
“Sepertinya
tugasku disini udah selesai.” , “Maksud kamu?” , “Ya tugasku udah
kuselesaikan. Aku udah nemenin Erlin sejak beberapa bulan lalu. Dia cuma
butuh kamu,gan. Cuma kamu yang bisa nyemangatin dia. Dia cinta sama
kamu,gan. Aku udah berusaha ngasi hari-hari terindah buat dia.” Aku baru
sadar air mataku sudah mengalir ketika Afgan menghapusnya dengan
jari-jari tangannya.
Afgan menundukkan kepalanya, “Tapi gimana kalo Erlin
sembuh?” . Hatiku mulai bergejolak mendengarnya,”Kamu nggak pengen
Erlin sembuh? Kamu jahat, Gan!”. “Tapi aku cinta sama kamu, Ta! Aku cuma
nganggep Erlin sebagai sahabat. Nggak lebih! Dan semua ini yang bikin aku ngerasa bersalah sama dia.”
Aku
sudah tak bisa membendung air mataku. Betapa kejamnya aku, Tuhan!
Betapa besar dosaku, Tuhan! Bagaimana bisa aku mencintai seseorang yang
lebih dicintai teman baikku saat ia sedang meregang nyawanya? Aku jahat,
Tuhan! Aku mohon, hukumlah aku, Tuhan!
***
Air
mataku sudah membasahi seluruh sapu tangan yang kubawa dari rumah
sebelum aku sampai di Jakarta. Banyak cerita yang tersimpan dalam sapu
tangan ini.
Seorang
sahabat memberikannya padaku saat kita duduk di bangku taman
kanak-kanak. Aku selalu membawanya kemanapun aku pergi. Banyak sekali
kegiatan yang kami lalui bersama-sama. Suatu hari, kami sedang bermain
di sebuah tanah kosong di belakang sekolah. Dia terjatuh dan terluka.
Banyak sekali darah yang mengalir dari luka itu. Dia menangis ketakutan.
Aku melihat darah merah itu seketika membanjiri tanah tempat ia
tersungkur. Segera aku mengikat lukanya dengan sapu tangan itu. Darah
itu juga keluar melalui hidungnya. Aku berlari untuk meminta tolong
kepada semua orang yang lewat. Tetapi tak seorangpun menggubris
teriakanku. Lalu seorang ibu menolong kami. Sayangnya, ia meninggal
sebelum orang-orang berhasil membawanya ke rumah sakit terdekat.
Beberapa hari setelah itu, aku tau bahwa ia mengidap penyakit leukemia
akut. Ia meninggal karena kehilangan banyak darah. Andai saja aku lebih
cepat meminta pertolongan, mungkin ia masih bisa hidup. Sejak saat itu
aku sangat menyesal karena membiarkan sahabatku mati sia-sia.
Aku
kembali menangis setelah mengingat cerita itu. Aku tidak ingin
mengulang kesalahan yang sama. Aku tidak ingin membiarkan seseorang mati
sia-sia karenaku untuk kedua kalinya. Terlebih, dia menyangkut
seseorang yang aku cintai. Siapa yang harus aku pilih? Afgan atau Erlin?
***
Pilihanku
sudah tepat. Aku berusaha tersenyum. Meskipun hatiku terus menerus
melawan keputusan yang sudah kubuat. Kuatkan hatimu, Nocta !
Aku
mengepak koper dan memasukan seluruh barang-barangku ke dalam tas yang
kubawa. Aku melihat seluruh sudut kamarku. Belum tentu aku bisa kembali
ke sini suatu saat nanti. Kupakai jaket kesayanganku lalu melangkah
keluar, menatap bebas langit di angkasa. Aku berhasil mengikhlaskanmu,
aku berhasil merelakanmu.
***
“Aku
memilih untuk lebih mendengar suara hatiku. Erlin mencintai kamu
melebihi aku. Kamu harus ngehargain dia. Lupain aku! Aku nggak pantas
buat kamu. Aku nggak berhak ngerusak impian Erlin. Jadi please,
bahagiain Erlin! Aku udah belajar buat ikhlas dari semua kejadian yang
kita laluin.” Afgan tidak menjawab sepatah kata pun. Afgan memeluk erat
tubuhku dengan kedua tangannya. “Oke, Ta. Aku akan berusaha ngebahagiain
Erlin. Makasih udah ngajarin aku ngehargain keinginan orang lain tanpa
mikirin diri aku sendiri. Makasih udah pernah ngisi kehidupan aku.” Aku
hanya bisa tersenyum menahan air mata. Aku tidak ingin menangis lagi.
Aku tidak berhak menangisi orang yang bukan milikku.
Aku
berdiri di samping Erlin yang sedang terbaring diam. Aku berharap
keajaiban datang kepadanya. Aku berharap aku bisa memberikan sebagian
nyawaku untuknya. “Lin, aku pergi ya. Aku yakin, kamu pasti bisa
ngelewatin semua ini. Kamu yang berhak atas semuanya. Pokoknya kamu
harus terlihat sehat dan cantik saat kita bertemu lagi. Makasih buat
pelajaran berharga yang udah kamu kasih ke aku.” Dan semuanya berakhir
di sini.
***
Aku
mulai mengingat semuanya. Aku ingat saat aku selalu berusaha datang ke
setiap kesempatan untuk bertemu Afgan. Aku ingat saat semua afganisme
menyindirku dengan semua omelan-omelan konyol mereka. Aku ingat
bagaimana perasaanku saat Afgan menelponku. Aku ingat saat pertama kali
melihat Erlin. Aku ingat bagaimana perasaanku saat Afgan berkata bahwa
ia cinta padaku. Begitu pula saat aku membentak Afgan karena hal itu.
Aku ingat semuanya.
Sekarang tugasku hanya satu, yaitu melupakan semuanya.
***
“Halo?”,”Halo…Nocta
kan? Aku Afgan.Ada yang mau ngomong sama kamu nih.”,”Hah? siapa?”
Mungkin aku sedikit tidak ingat dengan suara Afgan. “Nocta?”, aku
mendengar sebuah suara lirih yang tak kukenal. “Siapa ya?”,”Aku Erlin,
Ta!” . Aku tersentak kaget,”Erlin?! Beneran Erlin kan? Gimana kabar
kamu?”,”Syukur lah udah jauh lebih baik dari yang dulu. Thanks banget
ya,Ta. Aku denger semua motivasi kamu. Aku denger semua perjuangan kamu
buat aku.” Perasaan ku gaduh. Aku sangat senang karena Erlin sudah
sadar dan mungkin beban penyakitnya terkurangi. Tapi lagi-lagi aku
teringat Afgan. Waktu itu aku sedikit menyesal karena merelakan
seseorang yang kucintai dimiliki orang lain. Segera kubuang semua rasa
itu. Sudah cukup aku menyakiti orang lain. Sudah cukup aku menyiksa
orang lain karena aku memaksakan keinginanku sendiri. Aku harus melihat
ke depan, melihat masa depanku esok hari.
***
Tiba-tiba
semuanya berputar. Aku melihat bayanganku mengitari ruangan ini. Aku
kembali melihat semuanya. Erlin, Afgan, semuanya. Aku melihat ruang
putih itu lagi. Aku tak mau kembali lagi kesana, Tuhan. Tetapi pada
akhirnya aku harus sadar, aku harus terima.
***
“Dokter,
tadi malem aku mimpi indaaah banget. Aku bisa ketemu sama semua orang
yang aku cintai. Aku berguna bagi mereka semua.”,”Kamu bisa mewujudkan
semua itu, Nocta. Kamu pasti bisa melewati semua ini.” Dokter menyalakan
empat lampu diatas kepalaku dan menyiapkan semua peralatannya. Baru
saat itu aku sadar, masih tidak ada seorangpun yang peduli padaku.
Termasuk Afgan, Erlin, teman-temanku. Semuanya hanya impian sia-sia, tak
mungkin bisa kugapai. Aku memang harus kembali ke ruang putih ini. Aku
hanya bisa menunggu hari itu datang, hari yang damai itu. Terima kasih
Tuhan karena sudah memberi kebahagiaan terakhir bagiku, meski hanya
ilusi. Samar-samar aku melihat tulisan di jendela kamarku,‘Leukimia Stadium Akhir’. Lalu aku melihat Dia, sedang menjemputku.
No comments:
Post a Comment