Friday, May 17, 2013

FANCREATIVE: Waiting For A Miracle

By : @Nisa_Habiba 

Masih di ruang putih ini. Menunggu kamu, menunggu keajaiban’
***
“Oke,dek. Jangan telat ya!”, kata Mbak Fira sebelum aku menutup handphone ku. Seperti biasa, kami selalu datang ke event-event Afgan bersama-sama dengan afganisme yang lainnya.
Di sana sudah ramai. Aku telah berkumpul dengan afganisme-afganisme yang lain. Tempat kami sangat strategis. Tepat di depan panggung.

***
“Afgan ! Afgan ! Afgan !”,teriakan penonton yang super-super crowded banget ini menggema. Akhirnya Afgan muncul di panggung. Suara riuh penonton mengiringinya. Kali ini, dengan kemeja putih beraksen hitam pada daerah kancingnya, Afgan benar-benar mempesona kami semua. Semua ini yang membuat aku menyukainya. Aku selalu ingin menjadi seorang Afgan. Dia bisa membuat kami begitu menyukainya. Dia selalu berhasil membuat kami semua bangga menjadi penggemarnya.
“Nah, buat lagu yang satu ini, gak enak kalo nyanyinya sendirian,” . Tak kusangka, Afgan mengulurkan tangannya padaku. Aku tak tau apakah ini hanya mimpi atau benar-benar terjadi. Bagaikan melayang. Aku pun meraih tangannya dan melangkah menuju panggung. Teriakan penonton memenuhi telingaku. Seketika aku tenggelam setelah Afgan melihatku dengan matanya. Lagu Bukan Cinta Biasa mengalun dengan indah. Tuhan,aku mohon hentikan waktu saat ini juga!

***
Seperti yang kuduga. Afganisme mulai mengomeliku dengan omelan-omelan konyol mereka sembari tertawa-tawa dalam perjalanan ke hotel tempat Afgan menginap. Aku bersyukur masih bisa hidup sampai hari ini. Aku bisa merasakan hangatnya persahabatan ini. Tentu saja dengan bonus senyumanmu, Afgan. Tak terasa kami sudah sampai ditempat yang kita tuju.
“Hai, guys!”, suara Afgan membuat kami serentak berbalik badan. Satu hal yang baru aku ketahui. Afgan ternyata lebih ganteng dari yang aku kira :D . Kami pun langsung menyerbu Afgan. Tak lama kemudian, kami sudah disibukkan dengan kegiatan-kegiatan yang biasa dilakukan afganisme saat bertemu Afgan.
Setelah selesai berfoto dan sibuk dengan semua permintaan kami,sampailah waktunya Afgan take off untuk pulang ke Jakarta. Kami mengiringi Alphard hitam itu menuju bandara. Gak tau kenapa, Afgan selalu berusaha menoleh padaku dari jendela mobilnya. Seperti tatapannya di panggung kemarin.Sangat berarti.

***
Sebenarnya kami nggak mau Afgan pergi hari ini. Tapi mau bagaimana lagi. Kita nggak berhak untuk itu.
Sebelum afgan masuk ke waiting room, secara bergantian kami mengucapkan salam perpisahan padanya. “Makasih ya,Gan !”. Hanya kalimat itu yang bisa kukatakan. Aku sangat ingin semua ini terulang kembali. Aku nggak tau kapan semua ini terjadi kembali.
Aku yang terakhir mendapat giliran untuk bersalaman dengan Afgan. Aku menggenggam erat tangannya. Aku hanya bias tersenyum tipis sambil memandangnya. Waktunya dia pergi. Kami melambaikan tangan kepadanya. Ketika semua afganisme berpaling, Afgan mengambil secarik kertas dari sakunya lalu memberikannya padaku. Apa ini?

***
Tegang, kaget, dan tercengang. Tiga kata yang tepat untukku saat membaca kertas itu. Satu kalimat yang cukup membuat detak jantungku berhenti seketika.
I hope you believe me”
Dibawah kalimat itu terdapat deretan angka-angka yang menunjukan sebuah nomer handphone. Hal ini terlalu aneh untuk terjadi padaku, pada kehidupanku. Apalagi semuanya berkaitan dengan seorang Afgan. Ya, AFGAN !
Aku mencoba menghubungi nomer tersebut. Jantungku berdebar cepat saat mendengar nada sambung di telingaku. “Halo?”,suara itu membangunkan lamunanku. Aku hanya diam. Aku mengenal suara ini. “Halo? Siapa ya?”. Aku kembali tersadar dari lamunanku lagi. “A-A..A.AAFGAN?!”.”Iya. Maaf, ini dengan siapa?”. Aku tak percaya. Aku sedang menelepon seorang idola yang sangat kuimpikan. “Ma-Ma..af ya kalo ganggu. A..aku afganisme. K..ka..kamu sendiri kan yang ngasi nomer ini ke aku?”.”Oh, kamu.” Lalu hening. Kami tidak mengatakan sepatah kata pun selama beberapa menit. “Oh, maaf kalo mungkin kamu kaget sama semua yang aku lakuin ke kamu. Tapi semua ini bukan nggak ada artinya.”
Dia bercerita bahwa aku mengingatkannya pada seseorang. Erlin. Sahabat Afgan sejak kecil. Ia berkata bahwa aku sangat mirip dengan Erlin. Sikapku padanya, tatapanku padanya, mirip dengan cara Erlin memperlakukan Afgan. Kata Afgan, Erlin begitu mencintai dirinya. Afgan sebenarnya ingin membalas cinta Erlin. Dia sangat berusaha tapi perasaannya ingin ia menyayangi Erlin hanya sebagai seorang sahabat baik.
Suatu hari, Erlin terjatuh dan menyebabkan dagunya terluka. Luka tersebut mengeluarkan banyak darah Erlin. Afgan yang mengantarkannya pergi ke rumah sakit terdekat untuk mengobati lukanya. Setelah mengobati lukanya, dokter menyuruh Erlin untuk berjalan mengikuti sebuah garis lurus. Mereka heran. Apa hubungan antara garis lurus dan luka pada dagu Erlin. Tetapi, saat Erlin mencoba berjalan mengikuti garis tersebut, selalu gagal. Ia mencoba terus-menerus dan tidak berhasil. Sang dokter hanya menghela nafas.
Keesokan harinya, Erlin menelepon Afgan sambil terisak. Ia berkata bahwa dokter menghubunginya dan menyampaikan bahwa Erlin terdiagnosis penyakit Ataxia. Sebuah virus yang menyebabkan gangguan pada keseimbangan, syaraf, dan berakhir pada gangguan otak yang dapat menyebabkan kematian.
Hening. “Oke,gan. Aku kesana.” Kutekan tombol dial off di handphone ku. Aku hanya bisa terdiam. Bagaimana bisa aku menolong orang yang lebih dicintai seseorang yang kukasihi lebih dari diriku? Yang ku ingat hanya satu, pengabdian.
***
` Pagi ini cerah sekali. Langit masih memerah. Burung-burung terbang menambah keindahannya. Ya Jakarta, sampailah aku disini. Dulu, aku selalu bermimpi akan mewujudkan seluruh impianku disini. Termasuk bertemu kamu,gan. Tapi saat ini tujuanku hanya satu, Erlin. Dia membutuhkanku.
Afgan berada sangat dekat denganku saat kami melewati sebuah koridor serba putih ini. Sebenarnya aku sungguh-sungguh tak percaya bahwa aku sedang beriringan dengan seseorang yang sangat aku impikan.”Eh,ingat Erlin,Ta!”. Sekejap semua anganku terhembus gelombang angin di otakku.
Akhirnya kami tepat di depan sebuah pintu bertuliskan kalimat yang kurang kumengerti,”Rawat Intensif”. Saat aku memasukinya, tercium bau khas obat-obatan yang asing di hidungku. Tapi terlihat sekali bahwa pasien yang tinggal di sini sudah cukup lama berada di ruangan ini. Di tengah kamar itu, ada sebuah tempat tidur rumah sakit yang sudah disulap senyaman mungkin.
Erlin itu memang cantik. Aku bisa melihat dari tatapan matanya. “Erlin, ini Nocta. Nocta, ini Erlin.” Afgan memperkenalkanku padanya. Erlin berusaha meraih tanganku. Begitu sulit untuknya. Aku pun segera menggenggam tangannya dengan sepasang tanganku. Senyum Erlin merekah dengan manisnya. Seakan-akan aku bisa merasakanapa yang dia rasakan sekarang.
Erlin adalah gadis yang sangat kuat. Bahkan orang lain belum tentu setegar dia.
Sebuah virus asing merusak sebagian masa mudanya. Ketika seluruh teman-temannya sibuk mengobrol dengan asiknya, Erlin hanya bisa terbaring lemah di ranjang rumah sakit yang selalu menemaninya kapanpun.”Hebat kamu,Lin!”
***
Sejak hari itu, setiap pagi aku selalu pergi menemui Erlin. Aku berusaha ‘menularkan’ kebahagiaan sebagai seorang remaja kepadanya. Terkadang ia menggerakan kedua tangannya saat aku bercerita. Aku menceritakan bagaimana rasanya menjadi salah satu fans Afgan. Begitu susahnya menemui Afgan yang sangat diidolakan banyak gadis. “Kamu sih enak,Lin. Bisa ketemu si Agan kapan ajaa…Hahaha.” Erlin membalas guyonanku dengan senyum simpulnya. Aku juga menceritakan banyak ulah yang kulakukan saat di SMP dulu. “Pokoknya Lin, aku itu udah kayak sejoli sama yang namanya aspal. Dikit-dikit jatoh, dikit-dikit jatoh. Hehehe.” Erlin berusaha tertawa, lagi-lagi dia hanya membalas dengan senyumannya. Begitu seterusnya sampai matahari berganti menjadi bulan.
Hari demi hari cepat berlalu. Tetapi semakin hari keadaan Erlin malah memburuk. Ditambah dengan tidakadanya obat untuk virus itu. Spinocerebellar ataxia, ia tidak berhak berada di tubuh Erlin.
Aku dan Afgan hanya bisa menatap Erlin yang tak sadarkan diri. Air mataku berlinang lebih cepat dari yang kuduga. Afgan menggenggam erat tangan Erlin. Hatiku bergejolak melihatnya. Aku berusaha melawan perasaan itu. Aku tidak boleh menghianati Erlin, termasuk di dalam hati. “Aku keluar dulu ya,gan.” Afgan menganggukan kepalanya dan tetap menatap Erlin dalam-dalam.
***
Tuhan, seberapa bodohnya diriku? Aku harus menyelamatkan Erlin. Tetapi suara hatiku melawan. Aku mencintai Afgan. Kali ini aku telah berhasil menggapainya dan kali ini juga aku akan melepasnya demi menyelamatkan nyawa orang lain yang bisa kapan saja merebut Afgan dariku.
Sore itu kuhabiskan dengan terdiam di koridor sebuah rumah sakit yang menjadi saksi betapa jahatnya diriku, betapa kejamnya diriku. Otakku sudah terbenam dalam semua pikiran yang sungguh memenuhi kepalaku. “Tuhan, aku harus gimana lagi?” Hening.
Aku tidak kuat melihat semua ini. Aku tidak sanggup melihat Erlin yang hanya bisa bertahan hidup dengan seluruh selang-selang yang memenuhi tubuhnya. Aku tidak sanggup melihat Erlin yang hanya bisa bernafas dengan sebuah tabung besar oksigen yang ada disampingnya. Aku tak sanggup melihat kehidupan Erlin yang selama ini telah menjadi teman baikku hanya bisa terlihat dari garis-garis yang tidak kumengerti di sebuah layar di sebelah ranjangnya. Aku tidak sanggup melihat Erlin yang cantik hanya bisa terbaring diam karena koma.
Tetapi aku juga tak sanggup melihat Afgan yang begitu peduli padanya. Aku tak sanggup melihat Afgan duduk memandang Erlin dengan tatapan penuh harapan setiap waktu. Aku tidak sanggup melihat Afgan yang sepertinya berhasil membalas jasa Erlin selama ini dengan mencintainya. Aku tidak sanggup, Tuhan…
***
“Gan, bisa ngomong sebentar?” Untuk kesekian kalinya, Afgan membalas ucapanku hanya dengan menganggukan kepala tanpa mengalihkan pandangannya pada Erlin.
“Sepertinya tugasku disini udah selesai.” , “Maksud kamu?” , “Ya tugasku udah kuselesaikan. Aku udah nemenin Erlin sejak beberapa bulan lalu. Dia cuma butuh kamu,gan. Cuma kamu yang bisa nyemangatin dia. Dia cinta sama kamu,gan. Aku udah berusaha ngasi hari-hari terindah buat dia.” Aku baru sadar air mataku sudah mengalir ketika Afgan menghapusnya dengan jari-jari tangannya.
Afgan menundukkan kepalanya, “Tapi gimana kalo Erlin sembuh?” . Hatiku mulai bergejolak mendengarnya,”Kamu nggak pengen Erlin sembuh? Kamu jahat, Gan!”. “Tapi aku cinta sama kamu, Ta! Aku cuma nganggep Erlin sebagai sahabat. Nggak lebih! Dan semua ini yang bikin aku ngerasa bersalah sama dia.”
Aku sudah tak bisa membendung air mataku. Betapa kejamnya aku, Tuhan! Betapa besar dosaku, Tuhan! Bagaimana bisa aku mencintai seseorang yang lebih dicintai teman baikku saat ia sedang meregang nyawanya? Aku jahat, Tuhan! Aku mohon, hukumlah aku, Tuhan!
***
Air mataku sudah membasahi seluruh sapu tangan yang kubawa dari rumah sebelum aku sampai di Jakarta. Banyak cerita yang tersimpan dalam sapu tangan ini.
Seorang sahabat memberikannya padaku saat kita duduk di bangku taman kanak-kanak. Aku selalu membawanya kemanapun aku pergi. Banyak sekali kegiatan yang kami lalui bersama-sama. Suatu hari, kami sedang bermain di sebuah tanah kosong di belakang sekolah. Dia terjatuh dan terluka. Banyak sekali darah yang mengalir dari luka itu. Dia menangis ketakutan. Aku melihat darah merah itu seketika membanjiri tanah tempat ia tersungkur. Segera aku mengikat lukanya dengan sapu tangan itu. Darah itu juga keluar melalui hidungnya. Aku berlari untuk meminta tolong kepada semua orang yang lewat. Tetapi tak seorangpun menggubris teriakanku. Lalu seorang ibu menolong kami. Sayangnya, ia meninggal sebelum orang-orang berhasil membawanya ke rumah sakit terdekat. Beberapa hari setelah itu, aku tau bahwa ia mengidap penyakit leukemia akut. Ia meninggal karena kehilangan banyak darah. Andai saja aku lebih cepat meminta pertolongan, mungkin ia masih bisa hidup. Sejak saat itu aku sangat menyesal karena membiarkan sahabatku mati sia-sia.
Aku kembali menangis setelah mengingat cerita itu. Aku tidak ingin mengulang kesalahan yang sama. Aku tidak ingin membiarkan seseorang mati sia-sia karenaku untuk kedua kalinya. Terlebih, dia menyangkut seseorang yang aku cintai. Siapa yang harus aku pilih? Afgan atau Erlin?
***
Pilihanku sudah tepat. Aku berusaha tersenyum. Meskipun hatiku terus menerus melawan keputusan yang sudah kubuat. Kuatkan hatimu, Nocta !
Aku mengepak koper dan memasukan seluruh barang-barangku ke dalam tas yang kubawa. Aku melihat seluruh sudut kamarku. Belum tentu aku bisa kembali ke sini suatu saat nanti. Kupakai jaket kesayanganku lalu melangkah keluar, menatap bebas langit di angkasa. Aku berhasil mengikhlaskanmu, aku berhasil merelakanmu.
***
“Aku memilih untuk lebih mendengar suara hatiku. Erlin mencintai kamu melebihi aku. Kamu harus ngehargain dia. Lupain aku! Aku nggak pantas buat kamu. Aku nggak berhak ngerusak impian Erlin. Jadi please, bahagiain Erlin! Aku udah belajar buat ikhlas dari semua kejadian yang kita laluin.” Afgan tidak menjawab sepatah kata pun. Afgan memeluk erat tubuhku dengan kedua tangannya. “Oke, Ta. Aku akan berusaha ngebahagiain Erlin. Makasih udah ngajarin aku ngehargain keinginan orang lain tanpa mikirin diri aku sendiri. Makasih udah pernah ngisi kehidupan aku.” Aku hanya bisa tersenyum menahan air mata. Aku tidak ingin menangis lagi. Aku tidak berhak menangisi orang yang bukan milikku.
Aku berdiri di samping Erlin yang sedang terbaring diam. Aku berharap keajaiban datang kepadanya. Aku berharap aku bisa memberikan sebagian nyawaku untuknya. “Lin, aku pergi ya. Aku yakin, kamu pasti bisa ngelewatin semua ini. Kamu yang berhak atas semuanya. Pokoknya kamu harus terlihat sehat dan cantik saat kita bertemu lagi. Makasih buat pelajaran berharga yang udah kamu kasih ke aku.” Dan semuanya berakhir di sini.
***
Aku mulai mengingat semuanya. Aku ingat saat aku selalu berusaha datang ke setiap kesempatan untuk bertemu Afgan. Aku ingat saat semua afganisme menyindirku dengan semua omelan-omelan konyol mereka. Aku ingat bagaimana perasaanku saat Afgan menelponku. Aku ingat saat pertama kali melihat Erlin. Aku ingat bagaimana perasaanku saat Afgan berkata bahwa ia cinta padaku. Begitu pula saat aku membentak Afgan karena hal itu. Aku ingat semuanya.
Sekarang tugasku hanya satu, yaitu melupakan semuanya.
***
“Halo?”,”Halo…Nocta kan? Aku Afgan.Ada yang mau ngomong sama kamu nih.”,”Hah? siapa?” Mungkin aku sedikit tidak ingat dengan suara Afgan. “Nocta?”, aku mendengar sebuah suara lirih yang tak kukenal. “Siapa ya?”,”Aku Erlin, Ta!” . Aku tersentak kaget,”Erlin?! Beneran Erlin kan? Gimana kabar kamu?”,”Syukur lah udah jauh lebih baik dari yang dulu. Thanks banget ya,Ta. Aku denger semua motivasi kamu. Aku denger semua perjuangan kamu buat aku.” Perasaan ku gaduh. Aku sangat senang karena Erlin sudah sadar dan mungkin beban penyakitnya terkurangi. Tapi lagi-lagi aku teringat Afgan. Waktu itu aku sedikit menyesal karena merelakan seseorang yang kucintai dimiliki orang lain. Segera kubuang semua rasa itu. Sudah cukup aku menyakiti orang lain. Sudah cukup aku menyiksa orang lain karena aku memaksakan keinginanku sendiri. Aku harus melihat ke depan, melihat masa depanku esok hari.
***
Tiba-tiba semuanya berputar. Aku melihat bayanganku mengitari ruangan ini. Aku kembali melihat semuanya. Erlin, Afgan, semuanya. Aku melihat ruang putih itu lagi. Aku tak mau kembali lagi kesana, Tuhan. Tetapi pada akhirnya aku harus sadar, aku harus terima.
***
“Dokter, tadi malem aku mimpi indaaah banget. Aku bisa ketemu sama semua orang yang aku cintai. Aku berguna bagi mereka semua.”,”Kamu bisa mewujudkan semua itu, Nocta. Kamu pasti bisa melewati semua ini.” Dokter menyalakan empat lampu diatas kepalaku dan menyiapkan semua peralatannya. Baru saat itu aku sadar, masih tidak ada seorangpun yang peduli padaku. Termasuk Afgan, Erlin, teman-temanku. Semuanya hanya impian sia-sia, tak mungkin bisa kugapai. Aku memang harus kembali ke ruang putih ini. Aku hanya bisa menunggu hari itu datang, hari yang damai itu. Terima kasih Tuhan karena sudah memberi kebahagiaan terakhir bagiku, meski hanya ilusi. Samar-samar aku melihat tulisan di jendela kamarku,‘Leukimia Stadium Akhir’. Lalu aku melihat Dia, sedang menjemputku.




No comments:

Post a Comment

Social Icons