Friday, May 17, 2013

FANCREATIVE: Sahabat Jadi Cinta

by : @anessyah_reza
Tetesan air mata jatuh dengan hebatnya ketika moment itu kembali menari-nari dalam pikiran. Begitu dahsyatnya hingga berhasil membuatku terisak dan pikiran berujung untuk mengakhiri segalanya. Andaikan dia tak melakukan hal itu, mungkin aku tak akan mudah melakukan hal sebodoh ini. Benda kecil itu telah kugenggam. Tubuhnya yang meruncing tajam membuatku sedikit mengurungkan tekad yang telah berdiri di depan mata. Oh Tuhan, aku tahu ini hal gila yang akan kualami, namun ini mungkin jawaban yang tepat untuknya. Ketika raga mengiyakan untuk berbuat, ketukan pintu kamar terdengar jelas. Memancing emosiku semakin menjadi. Amarah berseru dalam diri saat mereka berhasil masuk ke dalam.


“Jangan mendekat!” bentakku pada Mama, Papa dan juga Mbok Ijah yang sepertinya ingin mendekat ke arahku. Tampak raut kaget dari wajah-wajah itu. Dekapan khawatir antara mereka tak mengibakanku. “Jangan sayang, jangan lakukan hal ini!” pinta perempuan setengah baya itu. Hah! Percuma! Aku kecewa. Aku muak. Aku benci!!! Hembusan nafas jeritan akhirnya mewarnai malam itu. Teriakanpun seolah mendukung suasana. Warnanya remang-remang dan berubah menjadi gelap. Aku tak dapat merasakan apa yang terjadi. Yang kuingat hanya di sini. Ya, di sini.


***


Lama menunggunya dicafe. Kira-kira hampir sejam menjamur ditempat yang memanjakan lidah ini. Sosok yang telah lama kutunggu. Semasa sekolah kami selalu bersama. Bisa disebut persahabatan yang telah terukir sejak 3 tahun yang lalu. Aku anak pindahan dari Lombok sejak 7 bulan yang lalu di Ibu Kota Negara ini. Tapi, sebenarnya aku adalah anak Ibu Kota. Pekerjaan Orangtua yang menjadi alasan kenapa aku bolak-balik Jakarta ke Lombok. Segelas jus tak cukup menunggunya. Untunglah ada beberapa hiburan yang membuatku bertahan. Dia datang bersamaan saat aku menoleh mencari keberadaannya. “Vanes?” suaranya masih khas tak berbeda seperti yang kukenal. “Hei, Afgan?!” Kami saling melepas rindu dengan berpelukan dan berhenti saat di detik ke 30. “Ini beneran lo, kan?” ujarku kembali. “Iyalah. Ini aku, Nes... Afgan! Yaelah, masa gak ingat sahabat sendiri sih?!” Kedua mataku terbelalak melihatnya. “Gila, makin cakep aja! Kamu hebat deh bisa buat aku gak kenal sama sosok Afgan yang dulu! Yaudah, aku masih penasaran dengan kamu yang sekarang. Duduk yuk!”






Sore hari itu benar-benar terasa nikmat saat komunikasi terjadi. “Wah Gan, hebat deh kamu. Sekarang udah jadi singer yang ‘WOW’ banyak fansnya, banyak dapat prestasi, terkenal pula. Pokoknya bedalah dengan Afgan yang aku kenal dulu.” Dia tersenyum malu sambil menggaruk-garuk kepala. Ya, sore itu aku bertemu dengan Afgan, sahabat karibku. Lesung pipinya yang menjadi ciri dan kaca mata yang khas membuatku kembali ingat tentangnya. “Ya, Alhamdulillah bangetlah dapat profesi kayak gini. Eh, kamu gimana kabarnya?” Aku menjawab seadanya dan mengalihkan pertanyaan yang sama. Hampir 2 jam aku ngobrol dengan Afgan. Waktu seperti itu sangat singkat untuk melepas rindu dengan orang sesibuknya. Rasanya kurang puas dan masih ingin terus bersamanya. “Oh ya Gan, udah punya pacar belum? Hayooo ngaku!” jahilku sedikit menggoda. Nampak malu terlihat jelas dari tampang imutnya. “Hayooo ngaku! Hmm... kalau kamu jawabnya lama berarti jawabannya udah punya pacar dong,” Saat Afgan akan melontarkan sesuatu, tiba-tiba dari jauh teriakan histeris terdengar. Ya, mereka adalah Afganisme. Segerombolan memenuhi ruang cafe, berusaha mengimpit setiap sudut yang kosong hanya untuk bertemu sang idola. Kebanyakan dari mereka adalah para gadis remaja.


Akhirnya pertemuan kali itu tak berjalan mulus seperti yang kuharapkan karena terusik dengan tingkah Afganisme yang sepertinya merasa jealous dengan keberadaanku. ‘Mungkin mereka berpikir aku adalah orang special untuk Afgan dan mungkin saja.’ Pikirku. Suasana cafe makin ramai dengan desakkan mereka yang minta ini itulah yang sudah menjadi resiko seorang artis. Aku salut dengan Afgan. Dia hebat membuat beberapa fansnya mengeluarkan air mata saking bahagia bertemu sang inspirator.


***


Nada panggilan dari handphone berdering nampak kurang jelas. Bunyinya yang berulang kali terdengar memaksaku beranjak dari ranjang dan membuka mata dengan lebar padahal sebenarnya masih ingin tertutup rapat. 1 panggilan dari Mama.


“Ya, halo?” aku menyahut dengan malas. “Vanes? Masih tidur, sayang? Hmm... bisa jemput Mama di rumah Tante Lola?” komunikasi diputuskan setelah aku mengiyakan. Aku melirik jam yang terpampang di dinding kamar. Pukul 15.30 WIB. 30 menit kemudian aku janji akan menjemput Mama di rumah Tante Lola yang tak lain adalah Mamanya Afgan. Bisa dikatakan keluargaku dekat dengan keluarga mereka. Maka tak heran Mama berkunjung ke sana. Macetnya Jakarta yang membuatku telambat 15 menit menjemput Mama. Sebelum kembali, aku melepas rindu dengan orang-orang terdekatku sejak dulu itu. Ada Tante Lola, Kak Dheri atau adik perempuan Afgan, ada Acha si little brother dan sepertinya ada makhluk baru dirumah itu. Ya, Luna! Anjing kecil milik sahabatku Afgan. Setelah itu, kami pamit pulang berhubung di rumah Mama masih ada kerjaan yang harus dituntaskan. Hari-hari sebelumnnya aku sempat janjian dengan Afgan untuk melepas rindu kembali saat hari kemaren tak berjalan sesuai harapan. Masih di tempat yang sama. Tempat yang masih membuatku nyaman. Begitupun dengan Afgan. Namun kali ini tempat itu berbeda dari hari sebelumnya. Pengunjungnya sedikit karena hanya dapat dihitung dengan jari. Aku memesan menu yang sama seperti saat berkunjung kesini beberapa waktu yang lalu. Hari ini pula berbeda. Hampir menghabiskan 2 gelas jus, Afgan belum nampak. Aku mencoba menghubungi, tapi handphonennya tidak aktif. Rasa kesal, kecewa, sedih, dan bosan menjadi satu menyelimuti batinku. Sempat berpikir mungkin dia lupa, tapi sepertinya tidak. Seorang lelaki datang menghampiri dengan berlari kecil bersamaan raut bersalah. “Sorry Nes, aku telat! Tadi ada job mendadak yang harus diselesaikan, jangan marah ya,” aku mengangguk pelan mencoba memahami. Pertemuan kali ini benar-benar memuaskan. Bisa bertemakan sehari bersama Afgan. Dia mengajakku jalan-jalan keliling Jakarta, mampir dibeberapa tempat rekreasi dan katanya semua ini sebagai tanda untuk menebus kesalahan dan sekalian bagi-bagi rezeki selama menjadi singer.


***


Aku tersenyum malu di depan miror ketika mengingat kembali hari-hari yang kulewati bersama Afgan. Ini memang gila, tapi hati tak bisa bohong. Afgan benar-benar membuatku jatuh cinta. Sikapnya yang polos, baik, perhatian dan apa adanya terhadapku membuatku menganggapnya lebih dari sekedar sahabat. Oh tidak! Mana bisa aku menaruh hati untuk sahabat sendiri? Persahabatan yang terjalin sekian lama tak ingin kunodai dengan perasaan ini. Satu alasan lain, ada dia! Lelaki yang tak kucintai masuk dalam hidupku. Aku merasa tidak adil. Mama egois. Mama menjodohkanku dengan seorang pengusaha yang lebih tua 15 tahun dariku. Mereka yang sejenis dan tentunya sebaya denganku akan berbikir panjang untuk soal ini. Umurku masih 20 tahun dan terlalu muda mengarah kehal yang serius. Apalagi menjalin hubungan dengan seseorang yang tidak dicintai. Walaupun segala upaya telah dilakukan lelaki bernama Tomi terhadapku, itu tak dapat meluluhkan hatiku. Aku hidup dengan sebagian kemunafikkan. Mengiyakan semuanya seakan benar-benar tulus mencintai pengusaha sialan itu! Mama tidak paham dengan diriku yang selalu murung saat nama calon pendamping itu disebut. Aku hanya membohongi perasaan sendiri. Tak ada orang yang bisa jadi tempat pengaduanku kecuali Afgan. Afgan benar-benar pengertian. Dia memberikanku solusi dan kekuatan agar bisa menghadapi masalah ini dengan baik. Aku sangat bersyukur.


***


Hampir seminggu lamanya tak bertemu Afgan. Sore itu aku segera menghubunginya dan dia menolak untuk bertemu. Job yang jadi alasan. Besoknya kucoba lagi. Masih alasan yang sama. 3 hari berikutnya kucoba menghubungi, alasan kali ini beda ternyata handphonennya tidak aktif. Aku mencoba pengertian dengan profesinya. Seminggu lagi kucoba mengubungi, tapi kali ini lewat jaringan sosial. Tak ada respon padahal saat itu Afgan sedang on. Beberapa pertanyaan mampir dan akhirnya menumpuk dipikiran. Besoknya aku ke rumahnya. Sempat shock setelah tahu tenyata dia sudah kembali ke Malaysia untuk melanjutkan kuliah. “Ih, Afgan kok gak kabarin aku?” rasa kesal kembali menghampiri. Afgan tega dan benar-benar tega melakukan hal ini! Aku mencoba menelponnya. Kali ini terhubung, “Kenapa sih Nes?? Kamu kayaknya gak pernah bosan nelpon aku mulu? Aku sekarang udah di Malaysia!” suara diseberang sana tiba-tiba menyahut dengan penuh emosi. “Loh, Gan? Kamu kok jadi galak kayak gini??? Emangnya ada apa sih?” makin tak mengerti dengan sikapnya yang seketika berubah terhadapku. Agak sensitif dan bukan Afgan yang kukenal. “Masih gak ngerti juga? Selama ini aku jauhin kamu! Kamu salah satu orang yang udah ganggu privasi aku! Aku tahu kita sahabatan, udah lumayan lama gak ketemu, tapi tolonglah ngertiin profesiku aku juga sebagai penyanyi. Aku tuh sibuk. Banyak urusan yang harus dituntasin. Job sana sini. Bukan malah enak-enakkan ngumpul bareng temanlah, sahabatlah, pacarlah! Emang gak puas kita jalan seharian kemaren?” bentaknya. “Tega ya kamu! Tega banget nyakitin aku, Gan!” Bibirku bergetar dengan sangat. Air mata dengan spontan jatuh hingga merembes. Rasanya sakit mendengar kalimat yang tak semestinya didengar dari sahabat sendiri. Aku segera balik kerumah dan mengurung diri dalam kamar. Selama ini aku selalu menyanjung nama Afgan sebagai sahabat yang baik, tapi tidak mulai sekarang. Afgan benar-benar tak seperti yang kubayangkan. Dia telah merobek perasaanku lebih dari berkeping-keping. Ternyata aku salah selama ini menilai Afgan!!! Dia sosok jahat yang pernah kukenal! ‘Untuk apa hidup lagi kalau tidak mendapat kasih sayang dari orang yang kita sayangi?’ Pikirku sejenak. Pikiran jahat akhirnya menguasaiku hingga dengan refleks aku mengambil pisau yang ada di dapur secara diam-diam agar tidak diketahui oleh penghuni rumah dan kembali masuk kamar. Tekadku berhasil saat ke tiga penghuni rumah berhasil mendongkrak pintu sampai masuk ke dalam. Ada Mama, Papa dan Mbok Ijah. Entah apa yang tejadi selanjutnya karena sesuatu hal juga telah terjadi pada diriku.


“Arrrrrrrrrrrgh....” teriakan histeris itu terdengar sangat keras hingga berhasil membangunkan mereka yang ada diruangan. “Vanes? Syukur kamu sudah sadar, sayang.” ujar seorang perempuan yang tak lain adalah Mama. “Ma, Vanes barusan mimpi!” Aku segera menceritakan semuanya kepada Mama. Begitu pula Mama, menceritakan keberadaanku diruangan ini. Ya, saat pulang dari tempat perfomance artis idolaku, Afgan, aku mengalami kecelakaan dan akhirnya dibawa ke Rumah Sakit. Aku sempat mengalami kritis dan ternyata selama saat-saat menegangkan itu terjadi, aku bermimpi menjadi sahabat seorang Afgansyah Reza. Ternyata bertemu dengan Afgan bukan sekedar mimpi. Dia hadir dalam ruangan bersama Papa, Mama, Mbok Ijah dan teman-teman afganisme. “Mas bro?” ujarku kaget bukan main. “Ya, hai Vanes! Cepat sembuh ya,” suaranya yang halus benar-benar meluluhkanku dan betah berada di tempat. Sempat shock saat dia meraih tanganku dan anak-anak afganisme berseru jealous bercampur bahagia. Aku tertawa kecil melihat tingkah mereka. Ini sih namanya kecelakaan membawa nikmat! Haha. Hmm... seperti bermimpi lagi rasanya. Ini ceritaku, apa ceritamu ?


No comments:

Post a Comment

Social Icons